selamat datang

disini tempatnya artikel seru

Selasa, 08 Maret 2011

Melacak Jejak Atlantis di Nusantara


Gambaran Kota Atlantis yang hilang ditelan lautan (The Sun)
Perburuan, dan spekulasi keberadaan Atlantis terus dicari sepanjang zaman. Sejumlah karya lahir, dan menunjukkan daerah tertentu diduga bagian dari ‘Kejayaan yang Tenggelam’ itu.
Indonesia juga masuk dalam daftar spekulasi para peneliti dan peminat mitologi Atlantis. Misalnya, Profesor Arysio Santos dari Brazil. Dia geolog dan fisikawan nuklir. Lalu, ada ahli genetika dari Oxford, Inggris, Profesor Stephen Oppenheimer. Keduanya menduga wilayah Indonesia memendam sisa-sisa ‘Surga Yang Hilang’ itu.
Santos menampilkan peta wilayah Indonesia dalam bukunya yang terbit pada 2005, “Atlantis: The Lost Continent Finally Found.” Benua hilang itu kemungkinan berada di sebagian Indonesia dan Laut China Selatan, demikian keyakinan Santos. Dalam karya itu, dia mengklaim telah melakukan riset perbandingan, seperti kondisi wilayah, cuaca, potensi sumber daya alam, gunung berapi, dan pola hidup masyarakat setempat.
Dalam buku itu, dia berhipotesis, wilayah Nusantara dulunya adalah Atlantis. Bagi Santos, indikasi itu antara lain soal luas wilayah. Seperti dikatakan Plato, Atlantis “lebih besar dari gabungan Libya (Afrika Utara) dan Asia (Minor)”. Indonesia, oleh Santos, dianggap cocok dengan karakter geografi itu.
Video wawancara Santos di laman YouTube, menampilkan dia tak ragu bahwa Atlantis benar-benar ada, dan bukan sekedar mitos. Santos menjelaskan mengapa selama ini para ilmuwan gagal menemukan Atlantis, dan ragu akan keberadaan kota yang hilang itu. “Karena mereka mencarinya di tempat yang salah. Mereka mencarinya di Laut Atlantis,” kata dia dalam wawancara di YouTube, seperti dimuat laman Hubpages.
Anggapan Atlantis berada di Samudera Atlantis, memang logis. Namun, itu bukan lokasi yang tepat. “Atlantis berada di Lautan Hindia [Indonesia], di belahan lain bumi,” kata dia. Di belahan bumi timur itulah, peradaban bermula. Namun, kata dia, Samudera Hindia atau Laut China Selatan sebagai lokasi Atlantis hanya batasan. “Lebih pastinya di Indonesia,” lanjut Santos.
Sebelum zaman es berakhir 30.000 sampai 11.000 tahun  lalu, di Indonesia terdapat daratan besar. Saat itu permukaan laut 150 meter lebih rendah dari yang ada saat ini. Di lokasi itulah tempat adanya peradaban. Sementara, sisa bumi dari Asia Utara, Eropa, dan Amerika Utara masih diselimuti es.
Pulau-pulau yang tersebar di Indonesia dianggap sebagai puncak gunung, dan dataran tinggi dari suatu benua yang tenggelam akibat naiknya permukaan air laut, dan amblesnya dataran rendah di akhir Masa Es Pleistocene. Itu terjadi sekitar 11.600 tahun lampau. “Itu adalah rentang waktu sama dengan dipaparkan Plato dalam dialog ciptaannya saat menyinggung Atlantis,” tulis Santos pada bagian pendahuluan di bukunya.
Berbeda dengan keyakinan para peneliti sebelum atau pada generasi Santos, dia pun optimistis bahwa Indonesia, yang disebut sebagai bekas peninggalan Atlantis, menjadi cikal bakal lahirnya sejumlah peradaban kuno.
Para penghuni wilayah yang selamat dari naiknya permukaan air laut dan letusan gunung berapi akhirnya berpencar mencari tempat-tempat. Mereka “pindah ke wilayah-wilayah yang kini disebut India, Asia Tenggara, China, Polynesia, Amerika, dan Timur Dekat,” tulis Santos.
Penjelasan serupa juga dikemukakan penulis asal Inggris, Stephen Oppenheimer, dalam buku “Eden in The East: The Drowned Continent of Southeast Asia” (1998). Dia menulis suatu benua yang tenggelam akibat banjir bandang, dan naiknya permukaan air laut sekitar 7.000 hingga 14.000 tahun yang lampau.
Wilayah yang tenggelam itu berada di wilayah yang kini disebut sebagai Asia Tenggara. Oppenheimer menyebut benua tenggelam itu sebagai Sundaland. Para penghuni yang selamat saat itu lalu menyebar ke berbagai tempat hingga ke Eropa, membawa budaya dan pola hidup mereka. Itu sebabnya Oppenheimer berasumsi asal-usul ras Euroasia di Eropa bisa ditelusuri di Asia.
Oppenheimer pun yakin bahwa para penghuni Sundaland saat itu punya peradaban maju dari wilayah-wilayah lain. “Mereka sudah mengembangkan pola menyambung hidup, dari sekadar berburu binatang menjadi bertani, berkebun, mencari ikan, bahkan perdagangan melintas laut. Semua itu sudah dilakukan sebelum 5.000 tahun yang lampau,” demikian penggalan asumsi dari Oppenheimer.
Sejarah selama ini mencatat induk peradaban manusia modern berasal dari Mesir, Mediterania dan Mesopotamia. Tetapi, menurut dia, nenek moyang dari induk peradaban manusia modern berasal dari tanah Melayu yang sering disebut Sundaland, atau Indonesia.
Apa buktinya? “Peradaban agrikultur Indonesia lebih dulu ada dari peradaban agrikultur lain di dunia,” kata Oppenheimer dalam diskusi bedah bukunya di Jakarta, Oktober 2010. Tentu, pendapat ahli genetika dan struktur DNA manusia dari Universitas Oxford itu, memberi paradigma berbeda dari yang ada selama ini bahwa peradaban paling awal berasal dari Barat.
Berbeda dengan Santos, Oppenheimer tak langsung menyimpulkan Sundaland adalah Atlantis. Dia sendiri mengakui butuh penelitian lebih lanjut, dan berharap ada kerjasama dengan peneliti di Indonesia, untuk menjelaskan Sundaland adalah Surga yang Tenggelam itu. Tapi, Oppenheimer meyakini Sundaland di wilayah Nusantara itu punya peradaban sangat maju di masanya.
Ilmu semu?

Pendapat Santos dan Oppenheimer mengenai jejak Atlantis dan Indonesia sebagai bekas pusat peradaban itu di satu sisi mengundang pesona. Tapi tak semua pihak percaya atas klaim itu. Menariknya, justru ilmuwan Indonesia sendiri mengkritik pandangan dua pengamat asing itu.
Profesor Riset Astronomi dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, meragukan cerita Atlantis itu. Bagi Djamaluddin, kisah Atlantis itu hanya sekadar cerita, dengan nilai ilmiah yang minim.
Dengan kata lain, penjelasan Atlantis yang dilontarkan para peneliti selama ini masuk dalam pseudosains, atau ilmu semu. “Ini bukan ilmiah. Ini pseudosains. Antara cerita dengan fakta ilmiah itu bercampur di sana,” kata ilmuwan Indonesia, Thomas Djamaluddin, dalam perbincangan dengan VIVAnews beberapa waktu lalu.
Tapi kata Djamaluddin, Atlantis tak lebih dari sekadar cerita karangan Plato yang melegenda. “Kalau itu dijadikan fakta ilmiah sejarah geologi, Plato itu hanya berdasarkan pemahaman dia. Plato tak menyebutkan data,” jelas Djamaluddin.
Peneliti lulusan lulusan Kyoto University, Jepang, itu juga menilai sejarah geologi tak memperlihatkan Indonesia adalah Atlantis. “Tulisan sejenis Santos ini sudah beredar lama. Itu hanya dugaan saja,” ujarnya.
Bantahan lain, misalnya datang dari geolog senior dari BP Migas, Awang Satyana. Dalam satu acara bedah buku Santos, sekitar dua tahun silam, Awang mengatakan Santos tak mengajukan bukti dan argumentasi geologi.
Sundaland, kata Awang, adalah paparan benua stabil yang tenggelam 15.000 – 11.000 tahun lalu oleh proses deglasiasi akibat siklus perubahan iklim.   “Bukan oleh erupsi volkanik. Erupsi supervolcano justru akan menyebabkan musim dingin dalam jangka panjang,” ujar Awang.
Bahkan soal migrasi manusia Sundaland ke sekujur bumi, kata Awang, berlawanan dengan bukti penelitian migrasi manusia modern secara biomolekuler.
Pakar geologi dari Universitas Padjajaran, Oki Oktariadi, mengingatkan dugaan lokasi Atlantis bukan hanya Indonesia. Ada banyak wilayah seperti Andalusia, Pulau Kreta, Santorini, Tanjung Spartel, Siprus, Malta, Ponza, Sardinia, Troy, dan lain-lain.
“Hasil penelitian terbaru oleh Kimura’s (2007) menemukan beberapa monumen batu di bawah perairan Yonaguni, Jepang yang diduga sisa-sisa dari peradaban Atlantis atau Lemuria,” demikian paparan Oktariadi dalam makalahnya yang berjudul “Benarkah Sundaland itu Atlantis yang Hilang?”
Walau kebenarannya masih diragukan, bagi Oktariadi, penelitian itu punya nilai positif bagi Indonesia. Setidaknya, negeri ini lebih dikenal di dunia internasional, khususnya di antara para peneliti di berbagai bidang. “Pemerintah Indonesia perlu menangkap peluang ini,”  tulis Oktariadi.
Sumber : http://www.vivanews.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar