selamat datang

disini tempatnya artikel seru

Kamis, 10 Maret 2011

SUNDALAND, BENUA YANG TERPECAH

SUNDALAND
BENUA YANG TERPECAH
KUMPULAN ARTIKEL-ARTIKEL



PUNYUSUN:
RANEX

BENARKAH SUNDALAND ITU ATLANTIS YANG HILANG?
(Pandangan dari Sisi Geologi dan Peluang dari Spekulasi Ilmiah)


”Peradaban Atlantis yang hilang” hingga kini barangkali hanyalah sebuah mitos mengingat belum ditemukannya bukti-bukti yang kuat tentang keberadaannya.  Mitos itu  pertama kali dicetuskan oleh seorang akhli filsafat terkenal dari Yunani, Plato (427 - 347 SM), dalam bukunya ”Critias dan Timaeus”. Disebutkan oleh Plato  bahwa terdapat awal peradaban yang disebut Benua Atlantis; para penduduknya dianggap sebagai dewa, makhluk luar angkasa, atau bangsa superior; benua itu kemudian hilang,  tenggelam secara perlahan-lahan karena serangkaian bencana, termasuk gempa bumi.

Selama lebih dari 2000 tahun, Atlantis yang hilang telah menjadi dongeng.  Tetapi sejak abad pertengahan, kisah Atlantis menjadi populer di dunia Barat. Banyak ilmuwan Barat secara diam-diam meyakini kemungkinan keberadaannya.  Di antara para ilmuwan itu banyak  yang menganggap bahwa Atlantis terletak di Samudra Atlantis, bahkan ada yang menganggap Atlantis terletak di Benua Amerika sampai Timur Tengah. Penelitian pun dilakukan di wilayah-wilayah tersebut. Akan tetapi,  kebanyakan peneliti itu  tidak memberikan bukti atau telaah yang cukup. Sebagian besar dari mereka hanya mengira-ngira. .


Hanya beberapa tempat di bumi yang keadaannya memiliki persayaratan untuk dapat diduga sebagai Atlantis sebagaimana dilukiskan oleh Plato lebih dari 20 abad yang lalu. Akan tetapi Samudera Atlantik tidak termasuk wilayah yang memenuhi persyaratan itu. Para peneliti masa kini malahan menunjuk Sundaland (Indonesia bagian barat hingga ke semenanjung Malaysia dan Thailand) sebagai Benua Atlantis yang hilang dan merupakan awal peradaban manusia
.
Fenomen Atlantis dan awal peradaban selalu merupakan impian para peneliti di dunia untuk membuktikan dan menjadikannya penemuan ilmiah sepanjang masa. Apakah pandangan geologi memberi petunjuk yang kuat terhadap kemungkinan ditemukannya Atlantis yang hilang itu? Apabila jawabannya negatif, apakah peluang yang dapat ditangkap dari perdebatan ada tidaknya Atlantis dan kemungkinan lokasinya di wilayah Indonesia?.

BAB I

SUNDALAND



PENDAHULUAN
”Mitos” atau cerita tentang benua Atlantis yang hilang pertama kali dicetuskan oleh seorang filosof terkenal dari Yunani  bernama Plato (427 - 347 SM) dalam bukunya berujudl Critias and Timaeus. Penduduknya dianggap dewa, makhluk luar angkasa atau bangsa superior. Plato berpendapat bahwa peradaban dari para peghuni benua Atlantis yang hilang itulah sebagai sumber peradaban manusia saat ini.
Hampir semua tulisan tentang sejarah peradaban menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan ‘pinggiran’. Kawasan yang kebudayaannya dapat subur berkembang hanya karena imbas migrasi manusia atau riak-riak difusi budaya dari pusat-pusat peradaban lain, baik yang berpusat di Mesir, Cina, maupun India. Pemahaman tersebut mengacu pada teori yang dianut saat ini yang  mengemukakan bahwa pada Jaman Es paling akhir yang dialami bumi terjadi sekitar 10.000 sampai 8.000 tahun yang lalu mempengaruhi migrasi spesies manusia.
Jaman Es terakhir ini dikenal dengan nama periode Younger Dryas. Pada saat ini, manusia telah menyebar ke berbagai penjuru bumi berkat ditemukannya cara membuat api 12.000 tahun yang lalu. Dalam kurun empat ribu tahun itu, manusia telah bergerak dari kampung halamannya di padang rumput Afrika Timur ke utara, menyusuri padang rumput purba yang kini dikenal sebagai Afrasia.
Padang rumput purba ini membentang dari pegunungan Kenya di selatan, menyusuri Arabia, dan berakhir di pegunungan Ural di utara. Jaman Es tidak mempengaruhi mereka karena kebekuan itu hanya terjadi di bagian paling utara bumi sehingga iklim di daerah tropik-subtropik justru menjadi sangat nyaman. Adanya api membuat banyak masyarakat manusia betah berada di padang rumput Afrasia ini.
Maka, ketika para ilmuwan barat berspekulasi tentang keberadaan benua Atlantis yang hilang, mereka mengasumsikan bahwa lokasinya terdapat di belahan bumi Barat, di sekitar laut Atlantik, atau paling jauh di sekitar Timur Tengah sekarang. Penelitian untuk menemukan sisa Atlantis pun banyak dilakukan di kawasan-kawasan tersebut. Namun di akhir dasawarsa 1990, kontroversi tentang letak Atlantis yang hilang muluai muncul berkaitan dengan pendapat dua orang peneliti, yaitu: Oppenheimer (1999) dan Santos (2005).

KONTROVERSI DAN REKONTRUKSI OPPENHEIMER
Kontroversi tentang sumber peradaban dunia muncul sejak diterbitkannya buku Eden The East (1999) oleh  Oppenheimer, Dokter ahli genetik yang banyak mempelajari sejarah peradaban. Ia berpendapat bahwa Paparan Sunda (Sundaland) adalah merupakan  cikal bakal peradaban kuno atau dalam bahasa agama sebagai Taman Eden. Istilah ini diserap dari kata dalam bahasa Ibrani Gan Eden. Dalam bahasa Indonesia disebut Firdaus yang diserap dari kata Persia "Pairidaeza" yang arti sebenarnya adalah Taman.
Menurut Oppenheimer,  munculnya peradaban di Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan Cina justru dipicu oleh kedatangan para migran dari Asia Tenggara. Landasan argumennya adalah etnografi, arkeologi, osenografi, mitologi, analisa DNA, dan linguistik. Ia mengemukakan bahwa di wilayah Sundaland sudah ada peradaban yang menjadi leluhur peradaban Timur Tengah 6.000 tahun silam. Suatu ketika datang banjir besar yang menyebabkan penduduk Sundaland berimigrasi ke barat yaitu ke Asia, Jepang, serta Pasifik. Mereka adalah leluhur Austronesia.
Rekonstruksi Oppenheimer diawali dari saat berakhirnya puncak Jaman Es (Last Glacial Maximum) sekitar 20.000 tahun yang lalu. Ketika itu, muka air laut masih sekitar 150 m di bawah muka air laut sekarang. Kepulauan Indonesia bagian barat masih bergabung dengan benua Asia menjadi dataran luas yang dikenal sebagai Sundaland. Namun, ketika bumi memanas, timbunan es yang ada di kutub meleleh dan mengakibatkan banjir besar yang melanda dataran rendah di berbagai penjuru dunia.
Data geologi dan oseanografi mencatat setidaknya ada tiga banjir besar yang terjadi yaitu pada sekitar 14.000, 11.000, dan 8,000 tahun yang lalu. Banjir besar yang terakhir bahkan menaikkan muka air laut hingga 5-10 meter lebih tinggi dari yang sekarang. Wilayah yang paling parah dilanda banjir adalah Paparan Sunda dan pantai Cina Selatan. Sundaland  malah menjadi pulau-pulau yang terpisah, antara lain Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sumatera. Padahal, waktu itu kawasan ini sudah cukup padat dihuni manusia prasejarah yang berpenghidupan sebagai petani dan nelayan.
 Bagi Oppenheimer, kisah ‘Banjir Nuh’ atau ‘Benua Atlantis yang hilang’ tidak lain adalah rekaman budaya yang mengabadikan fenomena alam dahsyat ini. Di kawasan Asia Tenggara, kisah atau legenda seperti ini juga masih tersebar luas di antara masyarakat tradisional, namun belum ada yang meneliti keterkaitan legenda dengan  fenomena Taman Eden.

BENUA ATLANTIS MENURUT ARYSO SANTOS
Kontroversi dari Oppenheimer seolah dikuatkan oleh pendapat Aryso Santos. Profesor asal Brazil ini menegaskan bahwa Atlantis yang hilang sebagaimana cerita Plato itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Pendapat itu muncul setelah ia melakukan penelitian selama 30 tahun yang menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Santos dalam bukunya tersebut menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Sundaland (Indonesia bagian Barat).
Santos menetapkan bahwa pada masa lalu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Langka, dan Indonesia bagian Barat meliputi Sumatra, Kalimantan, Jawa dan terus ke arah timur. Wilayah Indonesia bagian barat sekarang sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Argumen Santos tersebut didukung banyak arkeolog Amerika Serikat bahkan mereka meyakini bahwa benua Atlantis adalah sebuah pulau besar bernama Sundaland, suatu wilayah yang kini ditempati Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun silam, benua itu tenggelam diterjang banjir besar seiring berakhirnya zaman es.
Menurut Plato, Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus dan mencairnya Lapisan Es yang pada masa itu sebagian besar benua masih diliputi oleh Lapisan-lapisan Es. Maka tenggelamlah sebagian benua tersebut.
Santos berpendapat bahwa meletus-nya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan tergambarkan pada wilayah Indonesia (dulu). Letusan gunung api yang dimaksud di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan, letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba, dan letusan gunung Semeru/Mahameru di Jawa Timur. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah letusan Gunung Tambora di Sumbawa yang memecah bagian-bagian pulau di Nusa Tenggara dan Gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa membentuk Selat Sunda (Catatan : tulisan Santos ini perlu diklarifikasi dan untuk sementara dikutip di sini sebagai apa yang diketahui Santos).
Berbeda dengan Plato, Santos tidak setuju mengenai lokasi Atlantis yang dianggap terletak di lautan Atlantik. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa letusan berbagai gunung berapi menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya sehingga mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events. Catatan : pernyataan Santos ini disajikan seperti apa adanya dan tidak merupakan pendapat penulis.
Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia, diantaranya ialah: Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.
Dalam usaha mengemukakan pendapat, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian oleh para akhli Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.”
Atlantis memang misterius, dan karenanya menjadi salah satu tujuan utama arkeologi di dunia. Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan tersebut bisa jadi akan menjadi salah satu penemuan terbesar sepanjang masa.


PANDANGAN GEOLOGI
Pendekatan ilmu geologi untuk mengungkap fenomena hilangnya Benua Atlantis dan awal peradaban kuno, dapat ditinjau dari dua sudut pandang yaitu pendekatan tektonik lempeng dan kejadian zaman es.
Wilayah Indonesia dihasilkan oleh evolusi dan pemusatan lempeng kontinental Eurasia, lempeng lautan Pasifik, dan lempeng Australia Lautan Hindia (Hamilton, 1979). umumnya disepakati bahwa pengaturan fisiografi kepulauan Indonesia dikuasai oleh daerah paparan kontinen, letak daerah Sundaland di barat, daerah paparan Sahul atau Arafura di timur. Intervensi area meliputi suatu daerah kompleks secara geologi dari busur kepulauan, dan cekungan laut dalam (van Bemmelen, 1949).
Kedua area paparan memberikan beberapa persamaan dari inti-inti kontinen yang stabil ke separuh barat dan timur kepulauan. Area paparan Sunda menunjukkan perkembangan bagian tenggara di bawah permukaan air dari lempeng kontinen Eurasia dan terdiri dari Semenanjung Malaya, hampir seluruh Sumatra, Jawa dan Kalimantan, Laut Jawa dan bagian selatan Laut China Selatan.
Tatanan tektonik Indonesia bagian Barat merupakan bagian dari sistim kepulauan vulkanik akibat interaksi penyusupan Lempeng Hindia- Australia di Selatan Indonesia. Interaksi lempeng yang berupa jalur tumbukan (subduction zone) tersebut memanjang mulai dari kepulauan Tanimbar sebelah barat Sumatera, Jawa sampai ke kepulauan Nusa Tenggara di sebelah Timur. Hasilnya adalah terbentuknya busur gunung api (magmatic arc).

Gambar 3. Rekonstruksi Tektonik Lempeng di Wilayah Asia Tenggara (Hall, 2002). Garis merah adalah batas wilayah yang dikenal sebagai Sundaland

Rekontruksi tektonik lempeng tersebut akhirnya dapat menerangkan pelbagai gejala geologi dan memahami pendapat Santos, yang menyakini  Wilayah Indonesia memiliki korelasi dengan anggapan Plato yang menyatakan bahwa tembok Atlantis terbungkus emas, perak, perunggu, timah dan tembaga, seperti terdapatnya mineral berharga tersebut pada jalur magmatik di Indonesia. Hingga saat ini, hanya beberapa tempat di dunia yang merupakan produsen timah utama. Salah satunya disebut Kepulauan Timah dan Logam, bernama Tashish, Tartessos dan nama lain yang menurut Santos (2005) tidak lain adalah Indonesia. Jika Plato benar, maka Atlantis sesungguhnya adalah Indonesia.
Selain menunjukan kekayaan sumberdaya mineral, fenomena tektonik lempeng tersebut menyebabkan munculnya titik-titik pusat gempa, barisan gunung api aktif (bagian dari Ring of Fire dunia),  dan banyaknya komplek patahan (sesar) besar, tersebar di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Indonesia bagian timur. Pemunculan gunungapi aktif, titik-titik gempa bumi dan kompleks patahan yang begitu besar, seperti sesar Semangko (Great Semangko Fault membujur dari Aceh sampai teluk Semangko di Lampung) memperlihatkan tingkat kerawanan yang begitu besar. Menurut Kertapati (2006), karakteristik gempabumi di daerah Busur Sunda pada umumnya diikuti tsunami.
Para peneliti masa kini  terutama  Santos (2005) dan sebagian peneliti Amerika Serikat memiliki kenyakinan bahwa gejala kerawanan bencana geologi wilayah Indonesia adalah sesuai dengan anggapan Plato yang menyatakan bahwa Benua Atlantis telah hilang akibat letusan gunung berapi yang bersamaan.
Pendekatan lain akan keberadaan Benua Atlantis dan awal peradaban manusia (hancurnya Taman Eden) adalah kejadian Zaman Es. Pada zaman Es suhu atau iklim bumi turun dahsyat dan menyebabkan peningkatan  pembentukan es di kutub dan gletser gunung. Secara geologis, Zaman Es sering digunakan untuk merujuk kepada waktu lapisan Es di belahan bumi utara dan selatan; dengan definisi ini kita masih dalam Zaman Es. Secara awam untuk waktu 4 juta tahun ke belakang, definisi Zaman Es digunakan untuk merujuk kepada waktu yang lebih dingin dengan tutupan Es yang luas di seluruh benua Amerika Utara dan Eropa.
Penyebab terjadinya Zaman Es antara lain adalah terjadinya proses pendinginan aerosol yang sering menimpa planet bumi. Dampak ikutan dari peristiwa Zaman Es adalah penurunan muka laut. Letusan gunung api dapat menerangkan berakhirnya Zaman Es pada skala kecil dan  teori kepunahan Dinosaurus dapat menerangkan akhir Zaman Es pada skala besar.

Berkas:Pleistocene north ice map.jpg
Gambar 4. Penyebaran es di belahan bumi utara pada masa Pleistosen (USGS, 2005)
Dari sudut pandang di atas, Zaman Es terakhir dimulai sekitar 20.000 tahun yang lalu dan berakhir kira-kira 10.000 tahun lalu atau pada awal kala Holocene (akhir Pleistocene). Proses pelelehan Es di zaman ini berlangsung relatif lama dan beberapa ahli membuktikan proses ini berakhir sekitar 6.000 tahun yang lalu.
Pada Zaman Es, pemukaan air laut jauh lebih rendah daripada sekarang, karena banyak air yang tersedot karena membeku di daerah kutub. Kala itu Laut China Selatan kering, sehingga kepulauan Nusantara barat tergabung dengan daratan Asia Tenggara. Sementara itu pulau Papua juga tergabung dengan benua Australia.
Ketika terjadi peristiwa pelelehan Es tersebut maka terjadi penenggelaman daratan yang luas. Oleh karena itu gelombang migrasi manusia dari/ke Nusantara mulai terjadi. Walaupun belum ditemukan situs pemukiman purba, sejumlah titik diperkirakan sempat menjadi tempat tinggal manusia purba Indonesia sebelum mulai menyeberang selat sempit menuju lokasi berikutnya (Hantoro, 2001).
Tempat-tempat itu dapat dianggap sebagai awal pemukiman pantai di Indonesia. Seiring naiknya paras muka laut, yang mencapai puncaknya pada zaman Holosen ± 6.000 tahun dengan kondisi muka laut  ± 3 m lebih tinggi dari muka laut sekarang, lokasi-lokasi tersebut juga bergeser ke tempat yang lebih tinggi masuk ke hulu sungai.
Berkembangnya budaya manusia, pola berpindah, berburu dan meramu (hasil) hutan lambat laun berubah menjadi penetap, beternak dan berladang serta menyimpan dan bertukar hasil dengan kelompok lain. Kemampuan berlayar dan menguasai navigasi samudera yang sudah lebih baik, memungkinkan beberapa suku bangsa Indonesia mampu menyeberangi Samudra Hindia ke Afrika dengan memanfaatkan pengetahuan cuaca dan astronomi. Dengan kondisi tersebut tidak berlebihan Oppenheimer beranggapan bahwa  Taman Eden berada di wilayah Sundaland.
Taman Eden hancur akibat air bah yang memporak-porandakan dan mengubur sebagian besar hutan-hutan maupun taman-taman sebelumnya. Bahkan sebagian besar dari permukaan bumi ini telah tenggelam dan berada dibawah permukaan laut, Jadi pendapat Oppenheimer memiliki kemiripan dengan akhir Zaman Es yang menenggelamkan sebagian daratan Sundaland.

MENANGKAP PELUANG
Pendapat Oppenheimer (1999) dan Santos (2005) bagi sebagian para peneliti adalah kontroversial dan mengada-ada. Tentu  kritik ini adalah hal yang wajar dalam pengembangan ilmu untuk mendapatkan kebenaran. Beberapa tahun ke belakang pendapat yang paling banyak diterima adalah seperti yang dikemukakan oleh Kircher (1669) bahwa Atlantis itu berada di tengah-tengah Samudera Atlantik sendiri, dan tempat yang paling meyakinkan adalah Pulau Thera di Laut Aegea, sebelah timur Laut Tengah.
Pulau Thera yang dikenal pula sebagai Santorini adalah pulau gunung api yang terletak di sebelah utara Pulau Kreta. Sekira 1.500 SM, sebuah letusan gunung api yang dahsyat mengubur dan menenggelamkan kebudayaan Minoan. Hasil galian arkeologis menunjukkan bahwa kebudayaan Minoan merupakan kebudayaan yang sangat maju di Eropa pada zaman itu, namun demikian sampai saat ini belum ada kesepakatan di mana lokasi Atlantis yang sebenarnya. Setiap teori memiliki pendukung masing-masing yang biasanya sangat fanatik dan bahkan bisa saja Atlantis hanya ada dalam pemikiran Plato.
Perlu diketahui pula bahwa kandidat lokasi Atlantis bukan hanya Indonesia, banyak kandidat lainnya antara lain : Andalusia, Pulau Kreta, Santorini, Tanjung Spartel, Siprus, Malta, Ponza, Sardinia, Troy, Tantali, Antartika, Kepulauan Azores, Karibia, Bolivia, Meksiko, Laut Hitam, Kepulauan Britania, India, Srilanka, Irlandia, Kuba, Finlandia, Laut Utara, Laut Azov, Estremadura dan hasil penelitian  terbaru oleh Kimura's (2007) yaitu menemukan  beberapa monument batu dibawah perairan Yonaguni, Jepang yang diduga  sisa-sisa dari peradaban Atlantis atau Lemuria.

Gambar 5. Monument Batu yang berhasil ditemukan dibawah perairan Yonaguni, Jepang, (Spiegel Distribution TV, 2000)
PELUANG PENGEMBANGAN ILMU
Adalah fakta bahwa saat ini berkembang  pendapat yang menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang dianggap ahli waris Atlantis yang hilang. Untuk itu kita harus bersyukur dan membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya adalah merupakan pusat peradaban dunia yang misterius. Bagi para arkeolog atau oceanografer moderen, Atlantis  merupakan obyek menarik terutama soal teka-teki di mana sebetulnya lokasi benua tersebut dan karenanya menjadi salah satu tujuan utama arkeologi dunia. Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan tersebut bisa jadi akan menjadi salah satu penemuan terbesar sepanjang masa.
Perkembangan fenomena ini menyebabkan Indonesia menjadi lebih dikenal di dunia internasional khususnya di antara para peneliti di berbagai bidang yang terkait. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia perlu menangkap peluang ini dalam rangka meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peluang ini penting dan jangan sampai diambil oleh pihak lain.
Kondisi ini mengingatkan pada  Sarmast (2003), seorang arsitek Amerika keturunan Persia yang mengklaim telah menemukan Atlantis dan menyebutkan bahwa Atlantis dan Taman Firdaus adalah sama. Sarmast menunjukkan bahwa Laut Mediteranian adalah lokasi Atlantis, tepatnya sebelah tenggara Cyprus dan terkubur sedalam 1500 meter di dalam air.  ‘Penemuan’ Sarmast, menjadikan kunjungan wisatawan ke Cyprus melonjak tajam. Para penyandang hibah dana penelitian Sarmast, seperti editor, produser film, agen media dll mendapat keuntungan besar. Mereka seolah berkeyakinan bahwa jika Sarmast benar, maka mereka akan terkenal; dan jika tidak, mereka telah mengantungi uang yang sangat besar dari para sponsor.
Santos (2005) dan  seorang arkeolog Cyprus sendiri yaitu Flurentzos dalam artikel berjudul : ”Statement on the alleged discovery of atlantis off Cyprus” (Santos, 2003) memang menolak penemuan Sarmast. Mereka sependapat dengan Plato dan menyatakan secara tegas bahwa Atlantis berada di luar Laut Mediterania. Pernyataan ini didukung oleh Morisseau (2003) seorang ahli geologis Perancis yang tinggal di pulau Cyprus. Ia menyatakan tidak berhubungan sama sekali dengan fakta geologis. Bahkan Morisseau menantang Sarmast untuk melakukan debat terbuka. Namun demikian, usaha Sarmast  untuk membuktikan bahwa Atlantis yang hilang itu terletak di Cyprus telah menjadikan kawasan Cyprus dan sekitarnya pada suatu waktu tertentu dibanjiri oleh wisatawan ilmiah dan mampu mendatangkan kapital cukup berasal dari para sponsor dan wisatawan ilmiah tersebut.

Berkas:Athanasius Kircher's Atlantis.gif
Gambar 6. Peta Atlantis menurut  Kircher (1669). Pada peta tersebut, Atlantis terletak di tengah Samudra Atlantik.

Demikian juga dengan letak Taman Eden, sudah banyak yang melakukan penelitian mulai dari agamawan sampai para ahli sejarah maupun ahli geologi jaman sekarang. Ada yang menduga letak Taman Eden berada di Mesir, di Mongolia, di Turki, di India, di Irak dsb-nya, tetapi tidak ada yang bisa memastikannya.
Penelitian yang cukup konprehensif berkenaan dengan Taman Eden diantaranya dilakukan oleh Zarins (1983) dari Southwest Missouri State University di Springfield.  Ia telah mengadakan penelitian lebih dari 10 tahun untuk mengungkapkan rahasia di mana letaknya Taman Eden. Ia menyelidiki foto-foto dari satelit dan berdasarkan hasil penelitiannya ternyata Taman Eden itu telah tenggelam dan sekarang berada di bawah permukaan laut di teluk Persia. 
Gambar 7.  Taman Eden menurut Zarins (1983)
Hingga saat ini, letak dari Atlantis dan Taman Eden masih menjadi sebuah kontroversi, namun berdasarkan bukti arkeologis dan beberapa teori yang dikemukakan oleh para peneliti, menunjukkan kemungkinan peradaban tersebut berlokasi di Samudera Pasifik (disekitar Indonesia sekarang). Ini menjadi tantangan para peneliti Indonesia untuk menggali lebih jauh, walaupun banyak juga yang skeptis, beranggapan bahwa Atlantis dan Taman Eden tidak pernah ada di muka bumi ini.
           
PENUTUP
Peluang pengembangan ilmu sebenarnya telah direalisasikan oleh LIPI melalui gelaran 'International Symposium on The Dispersal of Austronesian and the Ethnogeneses of the People in Indonesia Archipelago, 28-30 Juni 2005 yang lalu. Salah satu tema dalam gelaran tersebut menyangkut  banyak temuan penting soal penyebaran dan asal usul manusia dalam dua dekade terakhir.  Salah satu temuan penting dari hasil penelitian yang dipresentasikan dalam simposium tersebut adalah hipotesa adanya sebuah pulau yang sangat besar terletak di Laut Cina Selatan yang kemudian tenggelam setelah Zaman Es.
Menurut Jenny (2005), hipotesa itu berdasarkan pada kajian ilmiah seiring makin mutakhirnya pengetahuan tentang arkeologi molekuler. Salah satu pulau penting yang tersisa dari benua Atlantis jika memang benar, adalah Pulau Natuna, Riau. Berdasarkan kajian biomolekuler, penduduk asli Natuna diketahui memiliki gen yang mirip dengan bangsa Austronesia tertua. Bangsa Austronesia diyakini memiliki tingkat kebudayaan tinggi, seperti bayangan tentang bangsa Atlantis yang disebut-sebut dalam mitos Plato.
Ketika Zaman Es berakhir, yang ditandai tenggelamnya 'benua Atlantis', bangsa Austronesia menyebar ke berbagai penjuru. Mereka lalu menciptakan keragaman budaya dan bahasa pada masyarakat lokal yang disinggahinya. Dalam tempo cepat yakni pada 3.500 sampai 5.000 tahun lampau kebudayaan ini telah menyebar. Kini rumpun Austronesia menempati separuh muka bumi.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa asal usul Taman Eden (manusia modern) dan hilangnya benua Atlantis sangat berkaitan dengan kondisi geologi khususnya aktivitas tektonik lempeng  dan peristiwa Zaman Es. Perubahan iklim yang drastik di dunia, menyebabkan  berubahnya muka laut, kehidupan binatang dan tumbuh-tumbuhan.
 Zaman Es memberi ruang yang besar kepada perkembangan peradaban manusia yang amat besar di Sundaland. Pada saat itu suhu bumi amat dingin, kebanyakan air  dalam keadaan membeku dan membentuk glasier. Oleh karena itu kebanyakan kawasan bumi tidak sesuai untuk didiami kecuali di kawasan khatulistiwa yang lebih panas.
Di antara kawasan ini adalah wilayah Sundaland dan Paparan Sahul serta kawasan di sekitarnya yang memiliki banyak gunung api aktif yang memberikan kesuburan tanah. Dengan demikian keduanya memiliki tingkat kenyamanan tinggi untuk berkembangnya  peradaban manusia.
Adapun wilayah lainnya tidak cukup memiliki kenyamanan berkembangnya peradaban, karena semua air dalam keadaan membeku yang membentuk lapisan es yang tebal.  Akibatnya, muka laut turun hingga 200 kaki dari muka laut sekarang.
Wilayah Sundaland yang memiliki iklim tropika dan memiliki kondisi tanah subur, menunjukkan tingkat keleluasaan untuk didiami. Kemungkinan pusat peradaban adalah berada antara Semenanjung Malaysia dan Kalimantan, tepatnya sekitar Kepulauan Natuna (sekitar laut China Selatan) atau pada Zaman Es tersebut merupakan muara Sungai yang sangat besar yang mengalir di Selat Malaka menuju laut China Selatan sekarang. Anak-anak sungai dari sungai raksasa tersebut adalah sungai-sungai besar yang berada di Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan bagian Barat dan Utara.



 











Gambar 8. Pola aliran sungai purba di daratan paparan tepian kontinen Sunda (Hantoro, 2007).

Kemungkinan kedua adalah Muara Sungai Sunda yang mengalir di Laut Jawa menuju Samudera Hindia melalui Selat Lombok. Hulu dan anak-anak sungai terutama berasal dari Sumatera bagian Selatan, seluruh Pulau Jawa, dan Pulau kalimantan bagian Selatan.
Oleh karena itu klaim bahwa awal peradaban manusia berada di wilayah Mediterian patut dipertanyakan. Sebab pada masa itu kondisi iklim sangat dingin dan beku, lapisan salju di wilayah Eropa dapat menjangkau hingga 1 km tebalnya dari permukaan bumi. Keadaan di Eropa dan Mesir pada masa itu adalah sama seperti apa yang ada di kawasan Artik dan Antartika sekarang ini.
Kawasan Sundaland pada saat itu walaupun memiliki suhu paling dingin sekalipun, tetap dapat didiami dan menjadi kawasan bercocok tanam kerena terletak di sekitar garisan khatulistiwa. Lebih menarik lagi, dengan muka laut yang lebih rendah, pada masa itu Sundaland adalah satu daratan benua yang menyatu dengan Asia dan terbentang membentuk kawasan yang amat luas dan datar. Apabila bumi menjadi semakin panas dan sebagian daratan Sundaland tenggelam daerah ini tetap dapat didiami dan tetap subur.
Di sisi lain kenyamanan iklim dan potensi sumberdaya alam yang dimiliki wilayah Sundaland, juga dibayangi oleh kerawanan bencana geologi yang begitu besar akibat pergerakan lempeng benua seperti yang dirasakan saat ini. Kejadian gempabumi, letusan gunung api, tanah longsor dan tsunami yang terjadi di masa kini juga terjadi di masa lampau dengan intensitas yang lebih tinggi seperti letusan Gunung Toba, Gunung Sunda dan gunung api lainnya yang belum terungkap dalam penelitian geologi.
Instansi yang terkait diharapkan dapat berperan menangkap peluang dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk mengungkap fenomena Sundaland sebagai Benua Atlantis yang hilang maupun sebagai Taman Eden. Paling tidak peranan instansi tersebut dapat memperoleh temuan-temuan awal (hipothesis) yang mampu mengundang minat penelitian dunia untuk melakukan riset yang komprehensif dan berkesinambungan..
Keberhasilan langkah upaya mengungkap suatu fenomena alam akan membuka peluang pengembangan berbagai sektor diantaranya adalah sektor pariwisata. Kemampuan manajemen kepariwisataan yang baik, suatu kegiatan penelitian berskala internasional artinya hipotesis penelitian yang dibangun dapat mempengaruhi wilayah dunia lainnya, akan berpotensi  menjadi kegiatan wisata ilmiah yang dapat menghasilkan devisa negara andalan dan basis ekonomi masyarakat seperti yang telah dinikmati oleh Mesir, Yunani, Cyprus dll.

BAB II

Jejak Atlantis, Taprobane, dan Avatar Indonesia

Oleh: Oki Oktariadi dan Oman Abdurahman (Badan Geologi Bandung)

Sering kita mendengar atau menikmati berbagai kisah serba “konon” tentang Atlantis, seakan mendengar cerita antah berantah atau layaknya dongeng pengantar tidur. Jarang dari kita yang tahu bahwa cerita Atlantis itu berasal dari Plato (428 SM – 348 SM) hampir dua ribu lima ratus tahun yang silam dalam bukunya Timaeus and Critias. Sejak ratusan tahun yang lalu hingga pertengahan abad 20 M, orang-orang di luar Indonesia yang terobsesi dengan kisah Plato itu hidup dalam “dunia konon”, berteori tentang benua yang hilang; mulai dari Bacon di pertengahan abad 17 M hingga Himmler, Ilmuwan Nazi, pada tahun 1939.
Buku Plato: CRITIAS & Timaeus
Francis Bacon tahun 1627 dalam novelnya, The New Atlantis (Atlantis Baru), mendeskripsikan komunitas utopia yang disebut Bensalem, terdapat di pantai barat Amerika. Karakter tempat dalam novel ini memberikan lukisan tentang Atlantis yang mirip dengan catatan Plato, namun tidak dijelaskan Bacon apakah pantai barat Amerika itu berada di Amerika Utara atau di Amerika Selatan.
Novel Isaac Newton tahun 1728, The Chronology of the Ancient Kingdoms Amended (Kronologi Kerajaan Kuno yang Berkembang), mempelajari berbagai hubungan mitologi dengan Atlantis. Pada pertengahan dan akhir abad ke-19, beberapa sarjana Mesoamerika, dimulai dari Charles Etienne Brasseur de Bourbourg, dan termasuk Edward Herbert Thompson dan Augustus Le Plongeon, menyatakan bahwa Atlantis berhubungan dengan peradaban Maya dan Aztek. Alexander Braghine tahun 1940 yang terpesona dengan cerita Atlantis dan menelusurinya melalui budaya Amerika Selatan, Eropa, Asia dan Afrika. Francesco Lopez de Gomara berani menyatakan Atlantis terletak di Amerika. Konsep Atlantis juga menarik perhatian ilmuwan Nazi untuk mengembangkan ide nasionalis. Pada tahun 1938, Heinrich Himmler mengorganisir sebuah pencarian di Tibet untuk menemukan sisa bangsa Atlantis putih. Menurut Julius Evola (Revolt Against the Modern World, 1934), bangsa Atlantis adalah manusia super atau Ãœbermensch Hyperborea—Nordik yang berasal dari Kutub Utara. Dalam kaitan ini disebut-sebut pula Alfred Rosenberg (The Myth of the Twentieth Century, 1930) yang berbicara juga mengenai kepala ras “Nordik-Atlantis” atau “Arya-Nordik”.
Sejak Donnelly (1882) mempublikasikan Atlantis: the Antediluvian World, terdapat lusinan – bahkan ratusan – usulan lokasi Atlantis yang katanya berdasarkan hasil penelitian arkeologi, fisika, geologi, bahasa, dan keilmuan lainnya. Dari sekian banyak usulan beberapa yang terkenal berada di wilayah Eropa, Selat Gibraltar, dan sekitar Laut Hitam. Di wilayah Eropa kebanyakan lokasi yang diusulkan sebagai Atlantis itu berada pulau-pulau di Laut Tengah, yaitu: Sardinia, Kreta dan Santorini, Sisilia, Siprus, Malta, dan Kepulauan Canary di sekitar selat Gibraltar. Ada juga usualan yang berupa kota seperti: Troya, Tartessos, dan Tantalus (di provinsi Manisa), Turki; dan wilayah antara Israel-Sinai atau Kanaan. Di wilayah Eropa Utara, yaitu pulau pulau yang tenggelam di sekitar Swedia dan Irlandia juga dinyatakan sebagai Benua Atlantis yang hilang. Di selat Gibraltar-Samudera Atlantik usulan lokasi Atlantis itu adalah wilayah sekitar Kepulauan Azores dan Pulau Spartel yang telah tenggelam itu. Adapun di sekitar Laut Hitam, daerah yang diduga sebagai Atlantis adalah Bosporus, Ancomah, dan sekitar Laut Azov.
Argumentasi pengusulan lokasi-lokasi tadi sebagai Atlantis pada umumnya didasarkan pada Sejarah Yunani Kuno, Kemajuan Bangsa Eropa masa kini, dan secara fisik pada Letusan besar Gunung Thera abad ke-17 atau ke-16 SM yang menyebabkan tsunami besar yang diduga menghancurkan peradaban Minoa di sekitar pulau Kreta. Para ahli Eropa beranggapan bencana seperti itu mungkin juga terjadi pada masa lalu yang menghancurkan Benua Atlantis. Argumen lain adalah kemampuan migrasi suatu bangsa ke berbagai belahan dunia terutama ke Benua Amerika, sebagaimana bangsa Viking untuk argumen pengusulan Eropa Utara sebagai Atlantis.
Atlantis, Trapobane, dan Sundaland: Eksplorasi temuan Santos
Dari sejumlah usulan yang ada tentang lokasi Atlantis nyatanya sampai kini belum ada yang berhasil dibuktikan sebagai bekas benua Atlantis yang sesungguhnya, walaupun lokasi-lokasi usulan tersebut memiliki kemiripan karakteristik dengan kisah Atlantis, misal: adanya bencana besar, pulau-pulau yang hilang, dan periode waktu yang relevan. Namun, tiba-tiba pada tahun 2005 muncul seorang saintis Brazil bernama Arysio Santos yang – setelah melakukan penelitian mendalam tentang benua-benua yang hilang – menyatakan bahwa “Atlantis: Benua yang hilang itu sudah ditemukan” (Atlantis: the Lost Continent Finally is Found). Sebab kitapun mungkin akan tersentak, penelitian selama 30 tahun itu bermuara pada kesimpulan bahwa benua Atlantis yang hilang itu tenggelam di wilayah Indonesia, yaitu di Sundaland, hingga hanya menyisakan puncak-puncak yang membentuk pulau-pulau dalam sabuk gunung api.
Kesimpulan tersebut berawal dari keyakinan Prof. Santos-saintis Brazil itu – bahwa “Pilar-pilar Herkules” sebagai Selat Sunda; dan Taprobane sebagai “Benua Atlantis” pada zaman es (Pleistosen) atau sebagai “Pulau Sumatera” pada akhir zaman es (Holosen). “Pilar-pilar Herkules” dan ”Taprobane” adalah dua diantara ciri-ciri Atlantis yang hilang yang diceritakan oleh Plato. Menurut Santos, Taprobane adalah Sundaland yang dikisahkan kaya dengan emas, batuan mulia, dan beragam binatang termasuk gajah. Kita tahu, Sundaland adalah wilayah yang meliputi Indonesia bagian Barat sekarang, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan dan pulau-pulau kecil lain di sekitarnya, termasuk laut-laut di antaranya; atau sebagian besar wilayah Asia Tenggara saat ini.
Di Taprobane inilah, kata Santos, terdapat Kota Langka, ibukota kerajaan Atlantis. Langka dianggap sebagai lokasi awal Meridian 00 yang tepat berada di atas pusat Sumatera sekarang. Tradisi Yunani tentang pulau Taprobane sebenarnya merujuk kepada tradisi Hindu. Taprobane dalam tradisi Hindu adalah benua yang tenggelam yang merupakan tempat dari mana bangsa Dravida berasal dan berada di khatulistiwa. Nama “Taprobana Insula” dipopulerkan oleh Klaudios Ptolemaios, ahli geografi Yunani abad 2 M. Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobane terdapat negeri Barousai yang – menurut Santos – kini dikenal sebagai kota Barus di pantai barat Sumatera. Kota Barus terkenal sejak zaman purba (Fir’aun) sebagai penghasil kapur barus. Namur demikian, serta merta banyak penolakan terhadap pendapat Santos tersebut.
Penolakan terhadap argumentasi Santos pada mulanya adalah suatu keniscayaan karena sangat berjarak dengan alam pikiran umumnya manusia Indonesia. Hal ini didukung pula oleh fakta bahwa
Sundaland sebagai benua Atlantis yang hilang. Sumber gambar dari: http://karangsambung.lipi.go.id/?p=651
Menunjukkan penyebaran populasi yang bersamaan dengan naiknya muka laut di wilayah Sundaland. Sumber : www.pinoyexchange.com/forums/sho…41080845.21
hampir semua tulisan tentang sejarah peradaban menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan ‘pinggiran’. Artinya kebudayaan Indonesia tumbuh subur berkembang hanya karena imbas migrasi manusia atau riak-riak difusi budaya dari pusat-pusat peradaban lain. Karena itu pula wajar jika banyak geolog Indonesia dengan serta merta menolak pendapat Santos, selain ada pula yang menerimanya. Sayangnya penolakan dan penerimaan hipotesis Santos tersebut dilakukan tanpa argumentasi sesuai proses ilmiah yang benar yang dipublikasikan melalui majalah atau jurnal ilmiah terakreditasi di masing-masing lingkungan keilmuaannya. Lain halnya para peneliti Eropa dan Amerika yang selalu memberikan respon melalui jurnal ilmiah, konfrensi, atau simposium internasional sehingga data dan argumentasi yang diajukannya dapat teruji secara ilmiah.
Penelitian DNA Oppenheimer mendukung Santos
Argumentasi Santos masih memerlukan verifikasi dan validasi, baik keseluruhannya maupun masing-masing indikatornya. Salah satu validasi data yang dapat digunakan untuk membuktikan hipotesis Santos datang dari Stephen Oppenheimer, seorang dokter ahli genetik yang belajar banyak tentang sejarah peradaban. Oppenheimer sependapat dengan Santos bahwa kawasan Asia Tenggara adalah tempat cikal bakal peradaban kuno dan bahwa Atlantis yang hilang itu itu berada di Sundaland. Menurutnya, kemunculan peradaban di Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan Cina justru dipicu oleh kedatangan para migran dari Asia Tenggara akibat berakhirnya Zaman Es. Bagi peneliti lain pendapat Oppenheimer sepertinya kontroversial, padahal, tesisnya sarat didukung oleh data yang diramu dari hasil kajian arkeologi, etnografi, linguistik, geologi, maupun genetika. Oppenheimer membutuhkan waktu 10 tahun untuk menghasilkan sebuah buku berjudul “Eden in the East, the Drowned Continent of Southeast Asia” yang memuat argumentasi bahwa Atlantis yang hilang itu adalah Sundaland. Kekuatan argumen Oppenheimer terletak pada hasil penelitian DNA yang menentang teori konvensional saat ini bahwa penduduk Asia Tenggara sekarang (Filipina, Indonesia, dan Malaysia) datang dari Taiwan 4000 tahun yang lalu (zaman Neolithikum).
Salah satu sanggahan terhadap Oppenheimer datang dari para ahli bidang mitologi (Association for Comparative Mythology) dalam sebuah konferensi internasional yang berlangsung di Edinburgh 28-30 Agustus 2007. Tema konferensi internasional tersebut adalah ”A new Paradise myth? An Assessment of Stephen Oppenheimer’s Thesis of the South East Asian Origin of West Asian Core Myths, Including Most of the Mythological Contents of Genesis 1-11”. Binsbergen salah seorang pemakalah dalam konferensi itu menyanggah Oppenheimer dengan argumentasi yang juga berdasarkan complementary archaeological, linguistic, genetic, ethnographic, dan comparative mythological perspectives. Menurut Binsbergen, Oppenheimer hanya mendasarkan Sundaland yang ia hipotesiskan sebagai prototip mitologi Asia Tenggara atau Oseania hanya berdasarkan mitologi Asia Barat (Taman Firdaus, Adam dan Hawa, kejatuhan manusia dalam dosa, Kail dan Habil, Banjir Besar, Menara Babel).
Namun bantahan Binsbergen ini dipatahkan kembali oleh Richards et al., (2008) yang menulis makalah pada sebuah jurnal berjudul “New DNA Evidence Overturns Population Migration Theory in Island Southeast Asia”. Richards menunjukkan bahwa penduduk Taiwan justru berasal dari Sundaland yang bermigrasi akibat Banjir Besar di Sundaland. Demikian pula ciri garis-garis DNA menunjukkan migrasi ke Taiwan pada arah utara, ke New Guinea dan Pasifik pada arah timur, dan ke daratan utama Asia yang di mulai pada 10.000 SM. Menunjukkan penyebaran populasi yang bersamaan dengan naiknya muka laut di wilayah Sundaland.
Dukungan lainnya terhadap Oppenheimer muncul berdasarkan hasil penelitiannya Soares et al., (2008) pada jurnal “Molecular Biology and Evolution” edisi Maret dan Mei 2008 dalam makalah berjudul: “Climate Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia”. Soares et al.menunjukkan bahwa haplogroup E, suatu komponen penting dalam salah satu bagian dari DNA, yaitu mitokondria, berevolusi selama 35.000 tahun terakhir dan secara dramatik tiba-tiba pada awal Holosen menyebar ke seluruh pulau-pulau Asia Tenggara, bersamaan dengan tenggelamnya Sundaland menjadi lautan. Komponen tersebut mencapai Taiwan dan Oseania lebih baru lagi, yaitu sekitar 8.000 tahun yang lalu. Ini membuktikan bahwa global warning dan sea-level rises pada ujung Zaman Es 15.000–7.000 tahun yang lalu merupakan penggerak utama human diversity di wilayah ini.
undefined
Pendapat Oppenheimer dan ahli-ahli yang dapat dianggap mendukungnya, telah memperkuat argumentasi Santos dan memperjelas penemuan berbagai artefak yang penuh misteri seperti penemuan keris di sebuah kuil purba di Okinawa Jepang, penemuan keris purba di Rusia, kendi purba di Vietnam, Kemboja, dan Pahang; gendang Dong Son dan Kapak Tua Asia Tengah, dan penemuan kota purba yang dinamakan Jawi atau  Jawa di Jordania.
Pada gambar menunjukkan para arkeolog sedang memperkirakan usia kota purba Jawa di Yordania dengan metode karbon. Hasilnya menunjukkan kota purba tersebut berumur 4000 SM. Demikian pula pahatan gambar sepasang kerbau atau seorang pria dengan tanduk kerbau muncul juga dalam ikonografi dari Sumeria. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerbau di Sumeria adalah jenis kerbau rawa-rawa Asia. Situs arkeologi kerbau Sumeria tersebut berumur 3000 SM.
Seekor kerbau atau seorang pria sedang dengan tanduk kerbau dalam ikonografi dari Sumeria.(3rd millennium BC) Kerbau tersebut diidentifikasi berasal dari Asia Tenggara. Sumber: http://asiapacificuniverse.com/pkm/swampbuf.jpg
Selain itu, berdasarkan hasil test DNA dapat terjawab pula misteri asal usul bahasa Austronesia. Semula, bahasa Austronesia diduga berasal dari Taiwan, namun dengan bukti-bukti dari hasil riset DNA itu justru sebaliknya bahwa bahasa Austronesia pun berasal dari Sundaland dan dapat diduga pula sebagai bahasa dari bangsa Atlantis atau Taprobane. Kita ketahui bahwa sebelum 1500 SM bahasa Austronesia termasuk salah satu keluarga bahasa yang paling banyak tersebar di dunia dengan tingkat penyebaran lebih dari setengah jarak keliling dunia, yaitu dari Madagaskar ke Kepulauan Easter. Sekarang, kelompok penutur bahasa Austronesia adalah hampir atau semua populasi asli Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Madagaskar juga dapat ditemukan di Taiwan, di bagian selatan Vietnam dan Kamboja, Kepulauan Mergui, Kepulauan Hainan di selatan Cina.
Lebih jauh ke arah timur, bahasa Austrronesia pun dituturkan di beberapa wilayah pantai di Papua Nugini, New Britain, New Ireland, dan di bagian rantai Kepulauan Melanesian yang melewati Kepulauan Solomon dan Vanuatu; juga New Caledonia dan Fiji serta mencakup semua bahasa Polinesia. Penyebaran bahasa Austronesia kea rah utara mencakup semua bahasa Mikronesia. Sekitar dua juta penutur bahasa Austronesia hidup di daerah garis barat yang ditarik dari utara ke selatan sekitar 130º garis bujur timur, memanjang dari arah barat Kepulauan Caroline ke arah timur Bird’s Head di Pulau New Guinea dan berhubungan erat dengan lebih dari 500 bahasa pada sisi garis pembagi 130º garis bujur timur.
Diperkirakan terdapat antara 1.000 sampai 1.200 varian bahasa Austronesia, berdasarkan kriteria bahasa yang membedakannya lebih jauh dan dialek. Bahasa-bahasa ini dituturkan oleh sekitar 270 juta orang dengan persebaran yang benar-benar tidak merata. Anthony Reid (Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, 2004) menyebut kelompok masyarakat berbahasa Austronesia ini sebagai perintis yang merajut kepulauan di Asia Tenggara ke dalam sistem perdagangan global. Dengan kemampuannya tersebut, sangat beralasan jika
para ahli bahasa beranggapan bahwa Bangsa Austronesia diyakini memiliki tingkat kebudayaan tinggi, seperti bayangan tentang bangsa Atlantis yang disebut dalam “mitos” Plato. Lebih jauh lagi, berbagai penelusuran di atas ternyata segala mitos dan tradisi-tradisi suci pada semua bangsa di seluruh dunia, semuanya menuju ke suatu daerah, yaitu kawasan tempat asal mula Bangsa Austronesia sebagai dataran-dataran rendah Atlantis Eden yang sekarang tenggelam berada di bawah permukaan laut.
Kalau memang Atlantis (Taprobane) benar berada di Sundaland, maka bangsa Austronesia itu tidak lain adalah Bangsa Atlantis dan diduga memiliki kekuasaan tidak hanya di Sundaland, tetapi meliputi pula wilayah luas sesuai dengan pola penyebaran bahasa Austronesia. Pengaruh lebih luas terjadi ketika zaman es berakhir yang ditandai dengan tenggelamnya ‘benua Atlantis’, ketika bangsa Austronesia menyebar ke berbagai penjuru dunia. Mereka lalu menciptakan keragaman budaya dan bahasa pada masyarakat lokal yang disinggahinya dalam tempo cepat yakni pada 3.500 sampai 5.000 tahun lampau.
Salah satu contoh penyebaran bangsa Austronesia ke seluruh dunia yang dibuktikan secara genetik adalah keberadaan suku Zanj – termasuk orang-orang Malagasi – yang merupakan ras Afro-Indonesia yang menetap di Afrika Timur sebelum kedatangan pengaruh Arab atas Swahili. Hal tersebut dibuktikan berdasarkan hasil test kromosom cDe orang Malagasi yang menunjukkan 62% gen Afrika dan 38% gen Indonesia, sementara kromosom cDe pada umumnya disana menunjukkan 67% gen Afrika dan 33% gen Indonesia. Suku Zanj umumnya mendominasi pantai timur Afrika hampir sepanjang millennium pertama masehi. Kata Zanj merupakan asal dari nama bangsa Azania, Zanzibar dan Tanzania. Ada dugaan yang mengarahkan kesamaan Zanj Afrika dengan Zanaj atau Zabag di Sumatera. Kini rumpun Austronesia menempati separuh muka bumi.

Atlantis Sundaland dan Budaya Maritim
Alat transportasi laut (kapal purba ) ada di relief candi Borobudur.Diduga kapal tersebut pernah mendominasi perdagangan pada masanya.
Sejak 5000 tahun sebelum Masehi hingga awal Masehi, bangsa Atlantis yang tersisa mengalami perubahan orientasi budaya dari budaya kontinental menjadi budaya maritim, yaitu budaya yang lebih terbuka dan toleran sehingga mudah menyesuaikan diri dengan wilayah samudera lainnya. Budaya maritin pada saat itu dikenal sebagai pelaut Nusantara. Hipotesis di atas juga diperkuat oleh Dick-Read (2008) dalam bukunya yang berjudul “Penjelajah Bahari”. Hasil penelusurannya menemukan bukti-bukti mutakhir bahwa pelaut Nusantara pada awal tahun Masehi telah menaklukkan samudra Hindia dan berlayar sampai Afrika jauh sebelum bangsa Eropa, Arab, dan Cina memulai penjelajahan bahari mereka. Antara abad ke-5 dan ke-7 M, kapal-kapal Nusantara banyak mendominasi pelayaran dagang di Asia. Pada waktu itu perdagangan bangsa Cina banyak bergantung pada jasa para pelaut Nusantara. Adalah fakta bahwa perkapalan Cina ternyata banyak mengadopsi teknologi dari Indonesia, sebagai contoh: kapal Jung. Demikian pula nelayan Madagaskar dan pesisir Afrika Timur banyak menggunakan Kano, sejenis perahu yang mempunyai penyeimbang di kanan-kiri, yang mirip perahu khas Asia timur.
Hasil penelitian Dick-Read kian memperkaya khazanah literatur tentang peran pelaut Indonesia pada masa pasca zaman Es atau masa akhir keberadaan Atlantis. Bukti-bukti mutakhir tentang penjelajahan pelaut Indonesia di abad ke-5 M dari Dick-Read makin mempertegas pandangan selama ini bahwa sejak lebih dari 1.500 tahun yang lalu nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut sejati. Tesis Dick-Read bahkan lebih jauh lagi, bahwa pada awal milenium pertama kapal-kapal Kun Lun (baca: Indonesia) sudah ikut terlibat dalam perdagangan di Mediterania.
Banyaknya jejak kebudayaan di seluruh Afrika seperti adanya keterkaitan antara kebudayaan suku Bajo dan Mandar di Sulawesi dengan Suku Bajun dan Manda di pesisir Afrika Timur. Bukti lain pengaruh Indonesia terhadap perkembangan Afrika adalah banyaknya kesamaan alat-alat musik dengan yang ada di Nusantara. Di sana, ditemukan sebuah alat musik sejenis Xilophon atau yang kita kenal sebagai Gambang dan beberapa jenis alat musik dari bambu yang merupakan alat musik khas Nusantara. Malahan gambang ditemukan di Sierra Lions letak sebuah negara di wilayah pesisir
Peta Klasifikasi Bahasa Austronesia berdasarkan Wilayahnya Afrika Barat. Selain itu juga adanya kesamaan pada seni pahat patung milik suku Ife di Nigeria dengan patung dan relief perahu yang ada di Borobudur.
Ikonik Atlantis di bumi Indonesia
Penelusuran jejak Atlantis di Indonesia saya kira cukup memberikan gambaran atau alasan untuk melakukan pembenaran bahwa Atlantis yang hilang itu terletak di kawasan Indonesia, walaupun masih banyak jejak-jejak yang perlu ditelusuri dan diungkap sebagai bukti atau fakta-fakta yang menguatkan. Fenomena Atlantis di Indonesia nyatanya telah mempengaruhi pola fikir arkelog kita dalam melakukan penilaian dan pengungkapan berbagai artefak baru, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Agus Aris Munandar Dosen Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Ia menduga bahwa di lereng Gunung Dempo Sumatera Selatan – yang dikemukakan Santos sebagai salah satu puncak gunung Atlantis – terdapat situs prasejarah yang kronologinya dapat lebih tua dari kebudayaan perunggu Dong-son yang berumur 300 SM. Situs itu adalah Pasemah yang berumur 3.000 SM.
“Pasemah Warrior” dari wilayah Pasemah, Gunung Dempo. Sumber : Munandar, dkk.
Disebut “Pasemah Warrior” karena berada di wilayah Pasemah, Gunung Dempo, yang menunjukkan pria dengan busana warrior (pahlawan). Sebuah ikon yang tidak dikenal dalam kebudayaan prasejarah manapun, baik di Asia Tenggara, Cina, ataupun India. Sementara itu sejumlah topeng perunggu dari Goa Made Jombang Jawa Timur memperlihatkan topi perang yang tidak pernah dikenali dalam kebudayaan prasejarah di Asia atau pun dunia. Agaknya topeng itu merupakan topi logam pelindung kepala dengan dilengkapi bagian yang mencuat di puncak kepalanya. Kronologi akurat menyimpulkan bahwa benda-benda perunggu itu ada yang berasal dari tahun 3000 SM. Demikian pula arca-arca pilar di Lembah Bada Sulawesi Tengah sebenarnya juga menggambarkan topeng yang wajahnya mirip dengan topeng-topeng perunggu di Goa Made, wajah asing yang bukan Malayan-Mongoloid.
Arca-arca pilar di Lembah Bada Sulawesi Tengah.
Ketiga lokasi artefak tersebut (Pasemah-Gunung Dempo, Goa Made-Jombang, dan Lembah Bada – Sulawesi Tengah) terletak di pedalaman, di dataran yang relatif tinggi dari daerah sekitarnya, seakan-akan sengaja dibuat di suatu ketinggian. Menurut Agus Aris Munadar kemungkinan hal itu untuk menghindari terjadinya kembali gelombang besar dari lautan yang menerjang daerah-daerah rendah.
Selanjutnya Agus pun menyatakan apabila ketiga situs di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi itu dihubungkan dengan garis maya, maka terdapat bentuk segi tiga. Dalam peta wilayah yang menjadi bagian dalam segitiga itu terdapat Laut Jawa yang diduga oleh Santos sebagai bekas dataran agung Atlantis yang menjadi laut pada sekitar 11.600 tahun yang lalu. Perkembangan sejarah Indonesia saat ini menunjukkan arus balik pola pikir yang dapat mengarah pada paradigma baru sehingga diperlukan penelusuran dan rekontruksi sejarah yang sesungguhnya. Sebab, kisah pengembaraan bangsa Indonesia berpotensi untuk menjadi sebuah epik yang teramat panjang, lebih panjang dari epik Homer, The Iliad and the Odyssey sehingga disana banyak ruang yang belum terisi atau missing link.
Memanfaakan Isu Atlantis untuk Pariwisata.
Hasil penelitian Santos dan Oppenheimer adalah pintu masuk untuk menyusun kembali tulang belulang yang berserakan dengan metode keilmuan yang benar, walaupun membutuhkan waktu yang panjang dan berliku. Sementara itu popularitas Indonesia yang sudah dibangun oleh Santos danOppenheimer secara gratis dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kepariwisataan Indonesia tidak harus menunggu pembuktian karena tidak ada yang salah dengan mitologi, apalagi argumen Santos dan Oppenheimer sudah lebih maju. Tugas Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata lah yang harus mengelola dan memanfaatkan situasi ini dengan baik.
Sudah banyak negara lain seperti Spanyol, Cyprus, Uni Emirat Arab, dan lainnya menghadapi situasi dan kondisi seperti yang dihadapi Indonesia saat ini. Namun, mereka memanfaatkan situasi dan kondisi itu untuk berbagai kepentingan bangsanya. Cyprus sukses mendatangkan wisatawan pencari Atlantis setelah seorang Arkelog Cyprus, Flurentzos, membuat artikel berjudul: ”Statement on the alleged discovery of atlantis off Cyprus”. Walaupun mendapat penolakan dari Santos, sampai saat ini Cyprus mampu mendatangkan wisatawan Atlantis karena tulisan tersebut menggambarkan Cyprus sebagai lokasi Atlantis yang hilang itu. Hal yang sama dilakukan Spanyol. Setelah banyak hasil penelitian yang menghipotesiskan Selat Gilbaltar sebagai selat sempit yang dianggap sebagai ”pilar-pilar Hercules”, serta merta pemerintahnya menyambut dan membuat berbagai objek wisata yang dikaitkan dengan ikon-ikon Atlantis yang hilang itu, seperti pilar-pilar Herkules pada obyek Wisata The Pillars Of Hercules. Fungsi sebenarnya dari perwujudan ikon-ikon Atlantis itu tiada lain untuk menarik wisatawan.
Penelitian Atlantis terkini di Indonesia, di antaranya dilakukan NASA, NOAA, dan sejumlah penelitian oseanografis yang dilakukan dengan kapal selam, telah menemukan jejak-jejak di dasar laut. Jejak-jejak tersebut berhasil memverifikasi bahwa pada Zaman Es, Laut Jawa, dan Selat Sunda merupakan dataran yang luas. Paparan laut Jawa – dataran yang luas itu – berbentuk persegi empat berukuran sekitar 600 x 400 km2, persis sama dengan gambaran Plato tentang “Dataran Agung Atlantis”. Dataran seluas itu memang sangat langka di dunia. Pulau-pulau Indonesia yang ada sekarang, pada Zaman Purba, yaitu di akhir Zaman Es, merupakan dataran tinggi dan puncak-puncak gunung yang tersisa ketika permukaan laut di seluruh dunia naik antara 130 m hingga 150 m dan menenggelamkan dataran-dataran rendahnya. Dataran Atlantis diduga berada di kedalaman sekitar 60 m di bawah permukaan laut kini.
Topeng perunggu dari Goa Made Jombang Jawa Timur, Sumber : Munandar, dkk.
Bagi Pemerintah Indonesia hipotesis Atlantis di Sundaland dari Santos, Oppenheimer, dan para pendukungnya itu adalah sebuah promosi gratis tentang wisata ilmiah. Apabila dikelola dengan baik, terutama oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan Kementerian Pendidikan, maka hal itu dapat memperkaya dunia wisata dan jumlah kunjungan wisatawan, khususnya wisata ilmiah (scientist tourism) yang di negara kita belum begitu berkembang dan terkelola dengan baik. Untuk itu, serangkaian kegiatan wisata atau pun ilmiah dapat dilakukan di lokasi-lokasi yang diduga kuat sebagai peninggalan-peninggalan Atlantis di Sundaland dapat dilaksanakan.
undefinedSalah satu objek wisata Atlantis yang memiliki prospek cukup baik adalah Selat Sunda karena diduga adanya keterkaitan lokasi tersebut dengan ”pilar-pilar Herkules” sebagaimana dikatakan Plato. Santos pun dalam bukunya sering mengatakan bahwa Selat Sunda sebagai selat sempit yang diduga sebagai salah satu penyebab terpisahnya Pulau Sumatera dan Pulau Jawa, serta pemungkas Zaman Es. Di kedua belah sisi selat Sunda terdapat banyak Gunung Api yang dikiaskan Plato sebagai ”pilar-pilar Herkules”. Seiring dengan rencana pembangunan jembatan Sumatera-Jawa, diharapkan penamaan jembatan tersebut dapat dikaitkan dengan fenomena Atlantis agar dapat menambah daya tarik wisatawan mancanegara.
Penamaan jembatan Sumatera-Jawa dengan menggunakan ikon Atlantis juga sebagai simbol kembalinya kejayaan Atlantis dalam bentuk kesatuan Republik Indonesia. Sebagai contoh nama jembatan tersebut dapat saja menggunakan nama: ”Taprobane bridge” atau ”Hercules bridge” atau nama lain yang memuat ikon-ikon Atlantis.
Isu Atlantis di Sundaland dan Avatar Indonesia
Pada akhirnya, upaya kita melakukan promosi bahwa Atlantis yang hilang itu adalah Sundaland bukan untuk membangkitkan kebanggaan sempit yang didorong oleh emosi, melainkan sebagai pembelajaran sejarah sambil mengembangkan nalar sehingga kita mampu memecahkan persoalan yang kita hadapi sekarang dan menyongsong masa depan yang lebih baik. Inilah pandangan avatar atau representasi Atlantis yang hilang itu didalam Indonesia kini, yakni inkarnasi Indonesia yang sebenarnya, yang sepantasnya, mengingat kejayaan masa lalunya di zaman Atlantis itu; dan segenap potensinya dalam menghadapi masa kini dan masa depan.
Topografi dasar laut yang menggambarkan Sundaland sebagai wilayah pedataran yang luas.
Sebagaimana avatar yang dimengerti oleh James Cameron, avatar Indonesia semestinya secara fisik, emosional-spritual dan intelektual adalah sosok baru dengan sebuah sinergi atau larutan atau hibrida baru yang dapat menghadapi dugaan lokasi Atlantis di Negara Syprus yang menjadi Obyek wisata.
Sumber : news.pseka.net/index.php%3Fmodul…d%3D4472
Tugu Pilar Herkules : simbol Gerbang menuju Benua Atlantis. Sumber : www.the-rock-of-gibraltar.com/to…st-guide
perkembangan dunia yang dinamis; dan mampu merebut ruang dan waktu barunya sendiri ke depan karena tersambung dengan masa lalunya yang gemilang. Semua itu dimulai dengan perhatian terhadap sejarahnya, yakni ruang dan waktu lebih dari 10.000 tahun yang lalu ketika masyarakat yang menempatinya menjadi sumber dari seluruh ras dan peradaban dunia. Atlantis dan Trapobane yang menjadi Avatar Indonesia kini semestinya menguak kembali potensi sejarah Indonesia yang benar
Sejarah yang selama ini memutus hubungan Indonesia terhadap Atlantis itu mungkin memang sengaja dibuat oleh kolonialis. Namun, kita tidak menyalahkan siapa-siapa karena memang watak kolonialisme itu diantaranya adalah penghancuran identitas suatu bangsa. Kalaupun ada yang beranggapan bahwa kualitas bangsa Indonesia sekarang sama sekali “tidak meyakinkan” untuk dapat dikatakan sebagai pewaris bangsa Atlantis, maka hal itu wajar saja sebagai suatu proses maju atau mundurnya peradaban dalam ruang dan waktu lebih dari 10.000 tahun. Apa yang diperlukan kini adalah bangkit dalam kemerdekaan kedua berkaitan dengan sejarahnya dan mengisinya dengan suatu keyakinan dan pandangan baru. Sebagaimana Avatar-nya Cameron yang menggambarkan perkembangan kehidupan dan peradaban yang seharusnya, maka Avatar Indonesia yang tersambung ke Atlantis itu seharusnyalah mewujudkan kembali kejayaan lamanya.

BAB III

Sundaland = Benua Atlantis yang Hilang?

oleh Budi Brahmantyo
MENARIK sekali artikel yang ditulis oleh Profesor Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, Ph.D., di harian ini Senin, 2 Oktober 2006 tentang mitos Benua Atlantis yang ternyata adalah Indonesia. Tulisannya mengutip sebuah buku keluaran tahun 2005 karya seorang Brasil Profesor Arysio Nunes dos Santos berjudul “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization”.
Terus terang, saya sama sekali belum pernah membaca buku itu. Tetapi, penelusuran melalui dunia maya menemukan satu promosi penerbitan buku tersebut dengan gambar sampul buku yang sangat menarik dan provokatif. Sampul buku itu menampilkan Kepulauan Indonesia bagian barat, yang tidak lain dan tidak bukan adalah apa yang pernah dikenal sebagai Kepulauan Sunda Besar, terdiri dari Pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan yang dipersatukan oleh paparan luas yang dikenal sebagai Paparan Sunda.
Jadi Paparan Sunda, atau ketika laut surut pada Kala Pleistosen Akhir menjadi daratan luas disebut dalam dunia ilmiah Geologi internasional sebagai Sundaland, adalah Benua Atlantis yang hilang menurut Profesor Santos? Sungguh membanggakan! Wajar jika kesimpulan Profesor Priyatna diakhir tulisannya bahwa Indonesia yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, harus membuat kita bersyukur, tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia (”PR”, 2 Oktober 2006).
Namun banyak ganjalan yang sangat mengganggu dengan pendapat Profesor Santos yang melambungkan nama Indonesia, atau tepatnya Sundaland, sebagai Benua Atlantis yang hilang itu. Ganjalan-ganjalan yang berkecamuk dalam pikiran saya akhirnya membawa kepada beberapa situs internet tentang Atlantis. Lalu, mouse komputer saya terdampar pada sumber awal munculnya mitos Atlantis itu, yaitu dialog Timaeus dan Critias, yang ditulis oleh Plato.
Cerita Critias
Mitos Atlantis muncul ketika mahaguru Socrates berdialog dengan ketiga muridnya; Timaeus, Critias dan Hermocrates. Critias menuturkan kepada Socartes di hadapan Timaeus dan Hermocrates cerita tentang sebuah negeri dengan peradaban tinggi yang kemudian ditenggelamkan oleh Dewa Zeus karena penduduknya yang dianggap pendosa. Critias mengaku ceritanya adalah true story, sebagai pantun turun temurun dari kakek buyut Critias sendiri yang juga bernama Critias.
Critias, si kakek buyut, mengetahui tentang Atlantis dari seorang Yunani bernama Solon. Solon sendiri dikuliahi tentang Atlantis oleh seorang pendeta Mesir, ketika ia mengunjungi Kota Sais di delta Sungai Nil. Bayangkan cerita lisan turun temurun yang mungkin banyak terjadi distorsi ketika Critias, si cicit, menceritakan kembali kepada Socrates, sebelum ditulis oleh Plato.
Di luar dari distorsi yang mungkin terjadi, tulisan tentang dialog Socrates, Timaeus dan Critias tentang Atlantis yang ditulis Plato adalah sumber tertulis yang menjadi referensi utama. Dari dialog itulah tergambar suatu negeri yang makmur, gemah ripah loh jinawi yang bernama Atlantis. Letak negeri berada di depan selat yang diapit Pilar-pilar Hercules (the Pillars of Heracles).
Negeri itu lebih besar dari gabungan Libia dan Asia. Terdapat jalan ke pulau-pulau lain di mana dari tempat ini akan ditemui sisi lain negeri yang dikelilingi oleh lautan sejati. Laut ini yang berada pada Selat Heracles hanyalah satu-satunya pelabuhan dengan gerbang sempit. Tetapi laut yang lain adalah samudera luas di mana benua yang mengelilinginya adalah benua tanpa batas.
Di Atlantis inilah terdapat kerajaan besar yang menguasai seluruh pulau dan daerah sekitarnya, termasuk Libia, kolom-kolom Heracles, sampai sejauh Mesir, dan di Eropa sampai sejauh Tyrrhenia. Lalu terjadilah gempa bumi dan banjir yang melanda negeri itu. Dalam hanya satu hari satu malam, seluruh penghuninya ditenggelamkan ke dalam bumi, dan Atlantis menghilang ditelan laut.
Cerita tragis yang memunculkan mitos Atlantis itu, bila kita cermati memang akan mengarah secara geografis di sekitar Laut Tengah (Mediterania). Selain nama-nama Libia, Mesir, Eropa dan Tyrrhenia, disebut pula selat dengan pilar-pilar Hercules yang tidak lain adalah Selat Gibraltar (atau dalam bahasa Arab, Selat Jabaltarik), selat di Laut Tengah antara Eropa dan Afrika yang merupakan gerbang ke Samudera Atlantik. Apakah betul Atlantis sebuah benua yang lebih besar dari gabungan Libia dan Asia? Pendapat ini ditentang juga sebagai salah terjemah kata Yunani meson (lebih besar) dengan kata mezon (di antara).
SUNDALAND
Memang betul, konotasi Atlantis tidak harus mengacu kepada Samudera Atlantik. Tetapi berdasarkan lingkungan kesejarahan dan geografis, para ahli akhirnya berkonsentrasi mencari Atlantis di sekitar Laut Tengah, antara Libia dan Turki yang dikenal sebagai Asia pada waktu itu. Sebelum Profesor Santos berargumen bahwa Atlantis adalah Sundaland, pendapat yang paling banyak diterima adalah bahwa negeri itu ada di tengah-tengah Samudera Atlantis sendiri, yaitu di Kepulauan Azores milik Portugal yang berada 1.500 km sebelah barat pantai Portugal. Tidak ada bukti arkeologis yang mengukuhkan pendapat ini.

Sundaland Pusat Peradaban Dunia

TESIS Profesor Arysios Santos, geolog dan fisikawan nuklir asal Brasil, mendapat sambutan luas, baik pro maupun kontra dari kalangan sejarawan dan arkeolog.

Bagi yang kontra tesis dalam buku Santos yang berjudul "Atlantis - The Lost Continent Finally Found (The Denitive Localization of Plato Civilization), menjungkirbalikkan paradigma sejarah dunia yang sudah mapan.

Bagaimana tidak, ia menyebutkan Indonesia sebagai pusat peradaban dunia pertama sebelum munculnya kebudayaan Romawi dan Yunani.

Hal itu bisa dilihat dari kebudayaan maritim yang dimiliki Nusantara.

Sejarawan Barat tidak akan rela jika Sundaland--wilayah dimaksud dalam buku Prof Santos--yang sekarang menjadi wilayah Indonesia sebagai awal pusat kebudayaan dunia, ujar Radhar Panca Dahana (budayawan), dalam sebuah diskusi di Jakarta, pekan lalu.

Hadir dalam panel diskusi tersebut di antaranya Agus Aris Munandar (arkeolog) Agung Bimo Sutejo (pene- liti situs) Oki Oktariandi (sejarawan), Jaleswari Pramodharwardani (pe- neliti dari LIPI) dan ES Ito (novelis) yang juga mencoba menelaah buku yang disusun berdasarkan riset selama 30 tahun tersebut.

Santos menyebutkan, peradaban di Indonesia pada masa itu sudah maju, meliputi ilmu pengetahuan dan penemuan besar manusia. Dicontohkan antara lain, budaya bercocok tanam, bahasa, metalurgi, astronomi, seni, dan lain-lain.

Hasil peradaban maju lainnya, seperti kapal laut, arsitektur di Yunani, Mesir, Maya, Azte, Inca dan lainnya, yang menurut Prof Santos tak lain dibangun oleh bangsa Indonesia yang melakukan migrasi lewat laut, setelah Sundaland hancur oleh bencana meletusnya Gunung Krakatau 11.600 tahun silam. Pada masa itu merupakan letusan Gunung Kraka tau yang pertama.

Sebagai karya ilmiah tentu saja tesis itu mendapat sanggahan dari ilmuwan lainnya yang telanjur memercayai pusat kebudayaan manusia modern pertama berasal dari wilayah Yunani dan Romawi (Continental).

"Kita pun tersentak, sebab penelitian bertahun-tahun itu bermuara pada kesimpulan bahwa benua (Atlantis) yang hilang itu tenggelam di wilayah Nusantara, hingga menyisakan puncak-puncak yang membentuk pulau-pulau dalam sabuk gunung berapi," kata ES Ito.

Terlepas dari pro dan kontra, konstruksi sejarah Prof Santos di forum tersebut diharapkan bisa membuang inferioritas bangsa Indonesia yang sebenarnya memiliki warisan nilai sejarah yang tinggi.

Para ahli sejarah sepakat bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah bangsa maritim. Penilaian itu memang tidak terbantahkan bila melihat bukti-bukti sejarah yang ada.

Namun sayang, seperti dikemukakan Radhar Panca Dahana, jejak itu kini redup seiring dengan tumbuhnya sikap yang dipertontonkan pemimpin bangsa yang lebih mengedepankan budaya materialisme (budaya kontinental).

"Kita malu menampilkan adab maritim akibat aneksasi kebudayaan kontinental yang materialis dan me ngedepankan kekuatan fsik," katanya.

Akibatnya, peradaban modern Nusantara seperti kehilangan arah karena mengingkari jati dirinya. Ia mengutarakan sejarah bangsa saat ini seperti dibentuk karena keberadaan orang lain. Bukan pada akar budaya bangsa sendiri yang sebenar- nya lebih hebat dan tidak ekspansif.

Ironisnya lagi, lanjutnya, peradaban maritim yang salah satunya berunsur nilai gotong-royong dan spiritualisme justru saat ini dikaji dengan sungguh-sungguh oleh sejarawan Barat yang diam-diam menemukan kelebihannya.

Sejauh mana desain orang asing terhadap keberadaan sejarah Nusantara? Lalu, bagaimana pengaruhnya terhadap identitas nasionalisme kebangsaan sekarang? Di tengah karut-marutnya kondisi bangsa saat ini yang seperti kehilangan identitas tentu pertanyaan itu harus segera dijawab. Fakta-fakta itulah yang ingin diapungkan oleh Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) yang menggelar diskusi tersebut.

Ketua Dewan Pembina YSNB Pontjo Sutowo mengatakan beragam temuan pemikiran terbaru itu perlu mendapat ruang untuk dapat menumbuhkan kembali gagasan penting karakter bangsa.

Bagi Radhar, semua buku sejarah resmi yang saat ini berlaku, sudah selayaknya dimasukkan dalam peti dan dikunci untuk selamanya. Karena memang ia tidak berhasil menggambarkan realitas historis dari riwayat bangsa, serta adab dan kebudayaannya, yang sesungguhnya pernah ada. Jaleswari juga menambahkan tesis Prof Santos, meski kontroversial bisa menjadi penyemangat dan pintu masuk bangsa Indonesia untuk menumbuhkan kembali keindonesiaan di tengah terpuruknya bangsa ini.(MI)
atlantis_harbor

Tempat yang paling meyakinkan sebagai Atlantis adalah Pulau Thera di Laut Aegea, sebelah timur Laut Tengah. Pulau Thera yang dikenal pula sebagai Santorini adalah pulau gunung api yang terletak di sebelah utara Pulau Kreta. Sekira 1.500 SM, sebuah letusan dahsyat gunung api ini mengubur dan menenggelamkan kebudayaan Minoan. Hasil galian arkeologis memang menunjukkan bahwa kebudayaan Minoan merupakan kebudayaan yang sangat maju di Eropa pada zamannya.
Pendapat Profesor Santos bahwa Atlantis adalah Sundaland atau Indonesia mempunyai banyak kelemahan. Pertama, tidak terdeskripsi dari cerita Solon melalui Critias bahwa Atlantis berada wilayah tropis. Kedua, deskripsi geografis di sekitar benua mitos itu mengarah semua ke Mediterania. Saya tidak tahu, lokasi mana yang ditunjuk Profesor Santos dalam bukunya sebagai selat dengan pilar-pilar Hercules.
Tetapi ia (melalui tulisan Profesor Priyatna ”PR” 2 Oktober 2006), berargumen bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung api aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Ketiga, Profesor Santos mengarahkan bingkai waktu Atlantis pada zaman es kala waktu Pleistosen. Zaman es terakhir (Wurm) terjadi pada maksimum 18.000 tahun yang lalu. Saat itu, tutupan es di kutub-kutub Bumi meluas hingga lintang 60 derajat, dan air laut di khatulistiwa surut tajam. Di Kepulauan Indonesia, sebuah pendapat mengatakan bahwa air laut surut hingga minus 140 m dari muka air laut sekarang. Maka, perairan Laut Jawa, Selat Karimata dan Laut Cina Selatan yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 100 m, berubah menjadi daratan. Itulah yang kemudian dikenal sebagai Sundaland.
Setelah 18.000 tahun yang lalu, permukaan laut mulai naik seiring dengan masuknya zaman antar-es. Muka air laut naik terus hingga sekitar 5 m di atas muka laut sekarang pada sekira 5.000 tahun yang lalu, sebelum turun kembali hingga pada posisinya sekarang. Artinya, penenggelaman Sundaland akan berjalan sangat pelan (evolutif), memakan waktu 13.000 tahun. Padahal menurut cerita Critias, Atlantis tenggelam hanya dalam satu hari satu malam!
Keempat, kebudayaan Indonesia pada Pleistosen Akhir, bahkan hingga awal Holosen (11.000 tahun yang lalu) masih budaya pengumpul hasil hutan dan berburu. Peralatannya adalah kayu, bambu dan batu, dengan rekayasa sangat sederhana. Mereka tinggal di gua-gua atau teras sungai dengan tempat bernaung dari ranting kayu dan dedaunan. Tidak ada pendapat satu pun yang menggolongkan budaya Paleolitik seperti itu sebagai budaya yang dianggap maju dan tinggi dalam pengertian yang sepadan ketika Plato menuliskan bukunya.
Sekali lagi, saya belum membaca buku Profesor Santos itu. Tetapi dari paparan tulisan Prof. Priyatna, dengan sedikitnya keempat argumen di atas, anggapan bahwa Indonesia (Sundaland) adalah Atlantis sulit untuk dapat diterima. Tentu saja walaupun tulisan ini membantah Indonesia sebagai Atlantis, kita harus tetap sangat bangga dengan Sundaland di Indonesia, karena dari ilmu-ilmu geologi, arkeologi, geografi, biogeografi, linguistik dan lain-lain, kawasan Sundaland diakui kepentingannya secara internasional. Dengan fakta-fakta ilmiah itu, seperti pendapat Profesor Priyatna Abdurrasyid, membuat kita harus bersyukur dan tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Indonesia dengan Sundaland-nya, sekalipun akan terbantah bukan Atlantis, adalah kekayaan intelektual yang tetap diakui secara internasional.

“Out of Sundaland” : Perdebatan Terbaru


Rekan-rekan yang suka membaca atau mempelajari buku-buku tentang migrasi manusia modern berdasarkan analisis genetika molekuler (DNA), pasti pernah membaca nama Stephen Oppenheimer. Oppenheimer adalah salah satu tokoh utama bidang ini, yang produktif menuliskan hasil-hasil risetnya. Saat ini, Oppenheimer yang semula seorang dokter anak dan pernah bertugas di Afrika, Malaysia, dan Papua New Guinea; adalah research associate di Institute of Human Sciences, Oxford University. Salah satu bukunya yang terkenal “Out of Eden : the Peopling of the World” (2004), cetakan terbarunya baru saya beli dua minggu lalu. Ini adalah sebuah buku yang komprehensif tentang sejarah penghunian semua daratan di Bumi oleh manusia modern berdasarkan analisis DNA pada semua bangsa. Oppenheimer memang pernah terlibat dalam suatu proyek raksasa untuk pemetaan genome manusia seluruh dunia. Dari situ ia mendapatkan data untuk menyusun bukunya. Melalui buku ini, kita bisa menebak dengan mudah bahwa Oppenheimer adalah seorang pembela pemikiran migrasi manusia : Out of Africa, dan menyerang Multiregional. Saya tak akan menceritakan buku tersebut, saya akan bercerita tentang bukunya yang lain, yang menyulut perdebatanl.

Tahun 1998, Oppenheimer menerbitkan buku yang menggoncang kalangan ilmuwan arkeologi dan paleoantropologi,”Eden in the East : The Drowned Continent of Southeast Asia”. Buku ini penting bagi kita sebab Oppenheimer mendasarkan tesisnya yang kontroversial itu atas geologi Sundaland. Secara singkat, buku ini mengajukan tesis bahwa Sundaland adalah Taman Firdaus (Taman Eden), suatu kawasan berbudaya tinggi, tetapi kemudian tenggelam, lalu para penghuninya mengungsi ke mana-mana : Eurasia, Madagaskar, dan Oseania dan menurunkan ras-ras yang baru. Dari buku Oppenheimer inilah pernah muncul sinyalemen bahwa Sundaland adalah the Lost Atlantis – benua berkebudayaan maju yang tenggelam.

Tesis Oppenheimer (1998) jelas menjungkirbalikkan konsep selama ini bahwa orang-orang Indonesia penghuni Sundaland berasal dari daratan utama Asia, bukan sebaliknya. Apakah Oppenheimer benar ? Penelitian dan perdebatan atas tesis Oppenheimer telah berjalan 10 tahun. Saya ingin menceritakan beberapa perdebatan terbaru. Sebelumnya, saya ingin sedikit meringkas tesis Oppenheimer (1998) itu.

Dalam “Eden in the East: the Drowned Continent of Southeast Asia”, Oppenheimer berhipotesis bahwa bangsa-bangsa Eurasia punya nenek moyang dari Sundaland. Hipotesis ini ia bangun berdasarkan penelitian atas geologi, arkeologi, genetika, linguistk, dan folklore atau mitologi. Berdasarkan geologi, Oppenheimer mencatat bahwa telah terjadi kenaikan muka laut dengan menyurutnya Zaman Es terakhir. Laut naik setinggi 500 kaki pada periode 14.000-7.000 tahun yang lalu dan telah menenggelamkan Sundaland. Arkeologi membuktikan bahwa Sundaland mempunyai kebudayaan yang tinggi sebelum banjir terjadi. Kenaikan muka laut ini telah menyebabkan manusia penghuni Sundaland menyebar ke mana-mana mencari daerah yang tinggi. Terjadilah gelombang besar migrasi ke arah Eurasia.

Oppenheimer melacak jalur migrasi ini berdasarkan genetika, linguistik, dan folklore. Sampai sekarang orang-orang Eurasia punya mitos tentang Banjir Besar itu, menurut Oppenheimer itu diturunkan dari nenek moyangnya. Hipotesis Oppenheimer (1998) yang saya sebut ”Out of Sundaland” punya implikasi yang luas. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa Taman Firdaus (Eden) itu bukan di Timur Tengah, tetapi justru di Sundaland. Adam dan Hawa bukanlah ras Mesopotamia, tetapi ras Sunda (!). Nah…implikasinya luas bukan ? Hipotesis Oppenheimer (1998) segera menyulut perdebatan baik di kalangan ahli genetika, linguistik, maupun mitologi. Saya akan meringkas beberapa perdebatan pro dan kontra yang terbaru (2007-2008). Di buku-bukunyanya yang terbaru (Out of Eden, 2004; dan Origins of the British, 2007), Oppenheimer tak menyebut sekali pun tesis Sundaland-nya itu.

Sanggahan terbaru datang dari bidang mitologi dalam sebuah Konferensi Internasional Association for Comparative Mythology yang berlangsung di Edinburgh 28-30 Agustus 2007. Dalam pertemuan itu, Wim van Binsbergen, seorang ahli mitologi dari Belanda, mengajukan sebuah makalah berjudul ”A new Paradise myth? An Assessment of Stephen Oppenheimer’s Thesis of the South East Asian Origin of West Asian Core Myths, Including Most of the Mythological Contents of Genesis 1-11”. Makalah ini mengajukan keberatan-keberatan atas tesis Oppenheimer bahwa orang-orang Sundaland sebagai nenek moyang orang-orang Asia Barat. Binsbergen (2007) menganalisis argumennya berdasarkan complementary archaeological, linguistic, genetic, ethnographic, dan comparative mythological perspectives.

Menurut Binsbergen (2007), Oppenheimer terutama mendasarkan skenario Sundaland-nya berdasarkan mitologi. Pusat mitologi Asia Barat (Taman Firdaus, Adam dan Hawa, kejatuhan manusia dalam dosa, Kain dan Habil, Banjir Besar, Menara Babel) dihipotesiskan Oppenheimer sebagai prototip mitologi Asia Tenggara/Oseania, khususnya Sundaland. Meskipun Oppenheimer telah menerima tanggapan positif dari para ahli arkeologi yang punya spesialisasi Asia Tenggara, Oppenheimer tak punya bukti kuat atau penelitian detail untuk arkeologi trans-kontinental dari Sundaland ke Eurasia.

Binsbergen (2007) menantang hipotesis Oppenheimer atas argument detailnya menggunakan comparative mythology. Beberapa keberatan atas hipotesis tersebut : (1) keberatan metodologi (bagaimana mitos di Sundaland/Oseania yang umurnya hanya abad ke-19 AD dapat menjadi nenek moyang mitos di Asia Barat yang umurnya 3000 tahun BC ?), (2) kesulitan teoretis akan terjadi membandingkan dengan yakin mitos yang umurnya terpisah ribuan tahun dan jaraknya lintas-benua, juga yang sebenarnya isi detailnya berbeda; (3) pandangan monosentrik (misal dari Sundaland) saja sudah tak sesuai dengan sejarah kebudayaan manusia yang secara anatomi modern (lebih muda daripada Paleolitikum bagian atas); (4) Oppenheimer tak memasukkan unsur katastrofi alam yang bisa mengubah jalur migrasi manusia.; (5) mitos bahwa Banjir Besar menutupi seluruh dunia harus ditafsirkan atas pandangan dunia saat itu, bukan pandangan dunia seperti sekarang.

Dalam pertemuan comparative mythology sebelumnya (Kyoto, 2005, Beijing 2006), Binsbergen mengajukan pandangan yang lebih luas dan koheren tentang sejarah panjang Old World mythology yang mengalami transmisi yang komplek dan multisentrik, tak rigid monosentrik seperti hipotesis Oppenheimer (1998). Winsbergen juga mendukung tesisnya itu berdasarkan genetika molekuler menggunakan mitochondrial DNA type B.

Itulah sanggahan terbaru atas tesis Oppenheimer (1998). Dukungan terbaru untuk hipotesis Oppenheimer (1998), baru-baru ini datang dari sekelompok peneliti arkeogenetika yang sebagian merupakan rekan sejawat Oppenheimer. Kelompok peneliti dari University of Oxford dan University of Leeds ini mengumumkan hasil peneltiannya dalam jurnal “Molecular Biology and Evolution” edisi Maret dan Mei 2008 dalam makalah berjudul “Climate Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia” (Soares et al., 2008) dan “New DNA Evidence Overturns Population Migration Theory in Island Southeast Asia” (Richards et al., 2008).

Richards et al. (2008) berdasarkan penelitian DNA menantang teori konvensional saat ini bahwa penduduk Asia Tenggara saat ini (Filipina, Indonesia, dan Malaysia) datang dari Taiwan 4000 (Neolithikum) tahun yang lalu. Tim peneliti menunjukkan justru yang terjadi adalah sebaliknya dan lebih awal, bahwa penduduk Taiwan berasal dari penduduk Sundaland yang bermigrasi akibat Banjir Besar di Sundaland.

Pemecahan garis-garis mitochondrial DNA (yang diwarisi para perempuan) telah berevolusi cukup lama di Asia Tenggara sejak manusia modern pertama kali dating ke wilayah ini sekitar 50.000 tahun yang lalu. Ciri garis-garis DNA menunjukkan penyebaran populasi pada saat yang bersamaan dengan naiknya mukalaut di wilayah ini dan juga menunjukkan migrasi ke Taiwan, ke timur ke New Guinea dan Pasifik, dan ke barat ke daratan utama Asia Tenggara – dalam 10.000 tahun.

Sementara itu Soares et al. (2008) menunjukkan bahwa haplogroup E, suatu komponen penting dalam keanekaragaman mtDNA (DNA mitokondria), berevolusi in situ selama 35.000 tahun terakhir, dan secara dramatik tiba-tiba menyebar ke seluruh pulau-pulau Asia Tenggara pada periode sekitar awal Holosen, pada saat yang bersamaan dengan tenggelamnya Sundaland menjadi laut-laut Jawa, Malaka, dan sekitarnya. Lalu komponen ini mencapai Taiwan dan Oseania lebih baru, sekitar 8000 tahun yang lalu. Ini membuktikan bahwa global warming dan sea-level rises pada ujung Zaman Es 15.000–7.000 tahun yang lalu, sebagai penggerak utama human diversity di wilayah ini.

Oppenheimer dalam bukunya “Eden in the East” (1998) itu berhipotesis bahwa ada tiga periode banjir besar setelah Zaman Es yang memaksa para penghuni Sundaland mengungsi menggunakan kapal atau berjalan ke wilayah-wilayah yang tidak banjir. Dengan menguji mitochondrial DNA dari orang-orang Asia Tenggara dan Pasifik, kita sekarang punya bukti kuat yang mendukung Teori Banjir. Itu juga mungkin sebabnya mengapa Asia Tenggara punya mitos yang paling kaya tentang Banjir Besar dibandingkan bangsa-bangsa lain.

Nah, begitulah, cukup seru mengikuti perdebatan yang meramu geologi, genetika, biologi molekuler, linguistik, dan mitologi ini. Pihak mana yang mau didukung atau disanggah ? Sebaiknya, masuklah lebih detail ke masalahnya agar argument kita kuat, begitulah menilai perdebatan.

Nusantara merupakan sebutan untuk negara kepulauan yang terletak di kepulauan Indonesia saat ini. Catatan bangsa Tionghoa menamakan kepulauan ini dengan Nan-hai yang berarti Kepulauan Laut Selatan. Catatan kuno bangsa India menamainya Dwipantara yang berarti Kepulauan Tanah Seberang, yang diturunkan dari kata Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang) dan disebut juga dengan Swarnadwiva (pulau emas, yaitu Sumatra sekarang). Bangsa Arab menyebut daerah ini dengan Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa).

Migrasi manusia purba masuk ke wilayah Nusantara terjadi para rentang waktu antara 100.000 sampai 160.000 tahun yang lalu sebagai bagian dari migrasi manusia purba “out of Africa“. Ras Austolomelanesia (Papua) memasuki kawasan ini ketika masih bergabung dengan daratan Asia kemudian bergerak ke timur, sisa tengkoraknya ditemukan di gua Braholo (Yogyakarata), gua Babi dan gua Niah (Kalimantan). Selanjutnya kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi, perpindahan besar-besaran masuk ke kepulauan Nusantara (imigrasi) dilakukan oleh ras Austronesia dari Yunan dan mereka menjadi nenek moyang suku-suku di wilayah Nusantara bagian barat. Mereka datang dalam 2 gelombang kedatangan yaitu sekitar tahun 2.500 SM dan 1.500 SM (Wikipedia, 2009).

Bangsa nenek moyang ini telah memiliki peradaban yang cukup baik, mereka paham cara bertani yang lebih baik, ilmu pelayaran bahkan astronomi. Mereka juga sudah memiliki sistem tata pemerintahan sederhana serta memiliki pemimpin (raja kecil). Kedatangan imigran dari India pada abad-abad akhir Sebelum Masehi memperkenalkan kepada mereka sistem tata pemerintahan yang lebih maju (kerajaan).

Kepulauan Nusantara saat ini paling tidak ada 50 populasi etnik yang mendiaminya, dengan karakteristik budaya dan bahasa tersendiri. Sebagian besar dari populasi ini dengan cirri fisik Mongoloid, mempunyai bahasa yang tergolong dalam satu keluarga atau filum bahasa. Bahasa mereka merupakan bahasa-bahasa Austronesia yang menunjukkan mereka berasal dari satu nenek moyang. Sedangkan di Indonesia bagian timur terdapat satu populasi dengan bahasa-bahasa yang tergolong dalam berbagai bahasa Papua.

Pusat Arkeologi Nasional telah berhasil meneliti kerangka berumur 2000-3000 tahun, yaitu penelitian DNA purba dari situs Plawangan di Jawa Tengah dan Gilimanuk Bali. Penelitian itu menunjukkan bahwa manusia Indonesia yang hidup di kedua situs tersebut telah berkerabat secara genetik sejak 2000-3000 tahun lalu. Pada kenyataannya hingga sekarang populasi manusia Bali dan Jawa masih memiliki kekerabatan genetik yang erat hingga sekarang.

Hasil penelitian Alan Wilson tentang asal usul manusia di Amerika Serikat (1980-an) menunjukkan bahwa manusia modern berasal dari Afrika sekitar 150.000-200.000 tahun lampau dengan kesimpulan bahwa hanya ada satu pohon filogenetik DNA mitokondria, yaitu Afrika. Hasil penelitian ini melemahkan teori bahwa manusia modern berkembang di beberapa penjuru dunia secara terpisah (multi origin). Oleh karena itu tidak ada kaitannya manusia purba yang fosilnya ditemukan diberbagai situs di Jawa (homo erectus, homo soloensis, mojokertensis) dan di Cina (Peking Man) dengan perkembangan manusia modern (homo sapiens) di Asia Timur. Manusia purba ini yang hidup sejuta tahun yang lalu merupakan missing link dalam evolusi. Saat homo sapiens mendarat di Kepulauan Nusantara, pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan masih tergabung dengan daratan Asia sebagai sub-benua Sundaland. Sedangkan pulau Papua saat itu masih menjadi satu dengan benua Australia sebagai Sahulland.

Teori kedua yang bertentangan dengan teori imigrasi Austronesia dari Yunan dan India adalah teori Harry Truman. Teori ini mengatakan bahwa nenek moyang bangsa Austronesia berasal dari dataran Sunda-Land yang tenggelam pada zaman es (era pleistosen). Populasi ini peradabannya sudah maju, mereka bermigrasi hingga ke Asia daratan hingga ke Mesopotamia, mempengaruhi penduduk lokal dan mengembangkan peradaban. Pendapat ini diperkuat oleh Umar Anggara Jenny, mengatakan bahwa Austronesia sebagai rumpun bahasa yang merupakan sebuah fenomena besar dalam sejarah manusia. Rumpun ini memiliki sebaran yang paling luas, mencakup lebih dari 1.200 bahasa yang tersebar dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di Timur. Bahasa tersebut kini dituturkan oleh lebih dari 300 juta orang. Pendapat Umar Anggara Jenny dan Harry Truman tentang sebaran dan pengaruh bahasa dan bangsa Austronesia ini juga dibenarkan oleh Abdul Hadi WM (Samantho, 2009).

Teori awal peradaban manusia berada di dataran Paparan Sunda (Sunda-Land) juga dikemukan oleh Santos (2005). Santos menerapkan analisis filologis (ilmu kebahasaan), antropologis dan arkeologis. Hasil analisis dari reflief bangunan dan artefak bersejarah seperti piramida di Mesir, kuil-kuil suci peninggalan peradaban Maya dan Aztec, peninggalan peradaban Mohenjodaro dan Harrapa, serta analisis geografis (seperti luas wilayah, iklim, sumberdaya alam, gunung berapi, dan cara bertani) menunjukkan bahwa sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun Santos menyimpulkan bahwa Sunda Land merupakan pusat peradaban yang maju ribuan tahun silam yang dikenal dengan Benua Atlantis.

Dari kedua teori tentang asal usul manusia yang mendiami Nusantara ini, benua Sunda-Land merupakan benang merahnya. Pendekatan analisis filologis, antropologis dan arkeologis dari kerajaan Nusantara kuno serta analisis hubungan keterkaitan satu dengan lainnya kemungkinan besar akan menyingkap kegelapan masa lalu Nusantara. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri peradaban awal Nusantara yang diduga adalah kerajaan Kandis

INDONESIA WARISKAN PERTANIAN UNTK DUNIA

Bogor - Warisan dari benua Sundaland yang tenggelam di Indonesia, bukanlah bangunan ala piramid. Indonesia mewariskan pertanian, dan peternakan untuk peradaban dunia.

Hal itu diungkapkan peneliti Universitas Oxford Inggris, Stephen Oppenheimer. Menurut penulis buku Eden in The East ini, masyarakat Sundaland mengubah kehidupan berburu dan meramu, menjadi kehidupan agrikultur.

"Padi liar didomestikasi menjadi padi yang ditanam di sawah. Banteng liar dijinakkan jadi sapi ternak," kata Oppenheimer kepada detikcom di Hotel Salak Bogor, Rabu (27/10/2010).

Penduduk Sundaland juga membuat perahu. Mereka sudah bisa berdagang antar pulau.

"Inovasi itu dimulai dari Indonesia," imbuh dia.

Namun kemudian air laut naik dan menenggelamkan Sundaland. "Naiknya cepat. Mereka bisa kehilangan 1 km daratan tiap tahun," ujarnya.

Akibatnya penduduk Sundaland berimigrasi ke berbagai penjuru dunia. Mereka membawa hasil bumi dan hewan ternak di atas perahu mereka.

"Indonesia membawa teknologi pertanian itu ke tempat lain di dunia," tutupnya.

MUNGKIN ADA SISA PERADABAN SUNDALAN DIDASAR LAUT

Fitraya Ramadhanny

Bogor - Sejumlah ilmuwan berpendapat Indonesia adalah benua Sundaland yang tenggelam di akhir Zaman Es. Namun, kecil kemungkinan ada bukti sejarah yang bertahan di dasar laut.

"Kalau berharap menemukan semacam candi, sepertinya tidak mungkin," kata peneliti Universitas Oxford, Inggris, Stephen Oppenheimer dalam perbincangan dengan detikcom di Hotel Salak, Bogor.

Menurut penulis Eden in The East ini, bangunan semacam candi belum menjadi produk budaya pada 8.000 tahun lalu. Harapannya tinggal artefak berupa perkakas.

"Mereka masih periode zaman batu muda atau neolithikum. Jadi belum ada perkakas logam," kata dia.

Meski demikian, mungkin saja ada perkakas batu yang bisa ditemukan. Namun tantangannya memang sulit.

"Jika ingin menyusuri misalnya sungai Mahakam kuno di dasar laut China Selatan, pasti sudah terkubur lumpur tebal," jelasnya.

Hal itu bukan tidak mungkin dieksplorasi. Arkeolog di Inggris menurut Oppenheimer membor dasar laut untuk mencari artefak atau menjaring di dasar laut.

"Artefak walaupun kecil, bisa bermakna sangat besar," tutupnya.

Teori Iwak Belido dan Sejarah tenggelam-nya Sundaland…

Sekitar 1,8 juta tahun yang lalu, bumi memasuki zaman Pleistocene. Pleistocene adalah zaman es dengan permukaan air laut di bawah 100m sampai 150m, jika dibandingkan keadaan saat ini.
Ketika itu… Selat Malaka, Selat Karimata, Selat Sunda dan Laut Jawa, masih berupa daratan, yang menyatukan Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan dan Semenanjung Malaya. Daratan yang luas ini, sebagian ahli geologi menyebutnya sebagai Sundaland.
…..
Teori Iwak Belido
Keberadaan Sundaland ini, bisa dibuktikan dengan ditemukannya, ikan spesifik yang bernama Ikan Belido, pada dua pulau yang berbeda, yakni Sumatera (Sungai Musi) dan Kalimantan (Sungai Kapuas)
Di Palembang, yang berada dipinggiran Sungai Musi, Ikan Belido (Ikan Belida) lebih dikenal dengan nama Iwak Belido, yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan mpek-mpek.

Yang menjadi pertanyaan…
Bagaimana mungkin, ada satu jenis ikan sungai… bisa berada di dua sungai, yang dipisahkan oleh samudra lautan yang sangat luas… ?
Para ahli memperkirakan, dahulu di zaman Pleistocene, kedua sungai tersebut, merupakan anak-anak sungai, dari sebuah aliran sungai yang sangat besar, yang saat ini berada di dasar laut Selat Malaka dan Selat Karimata.
Peristiwa terpisahnya Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera, diperkirakan disebabkan oleh mencairnya lapisan es, dan semakin dipercepat dengan meletusnya gunung Krakatau Purba.
Terjadinya letusan gunung ini, tercatat di dalam teks Jawa kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa :
Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula….
Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatera…

Sundaland menurut catatan Plato
Beberapa ilmuwan, diantaranya Profesor Aryso Santos dari Brasil, menduga Sundaland merupakan benua Atlantis, seperti disebut-sebut Plato di dalam bukunya Timeus dan Critias
Sumber catatan Plato adalah berasal dari percakapan antara Socrates (guru Plato), Hermocrates, Timeaus dan Critias. Socrates menjelaskan tentang masyarakat ideal versinya, sementara Timeaus dan Critias bercerita tentang kisah yang bukan fiksi. Kisah ini merupakan kisah konflik antara bangsa Athena dan bangsa Atlantis
Di dalam catatan Critias, peristiwa tenggelamnya Sundaland (Atlantis), digambarkan sebagai berikut :
Karena hanya dalam semalam, hujan yang luar biasa lebat menyapu bumi dan pada saat yang bersamaan terjadi gempa bumi. Lalu muncul air bah yang menggenang seluruh wilayah…
sementara di dalam Timaeus :
Namun sesudah itu, muncul gempa bumi dan banjir yang dashyat. Dan dalam satu hari satu malam, semua penduduknya tenggelam ke dalam perut bumi dan pulau Atlantis lenyap ke dalam samudera luas. Dan karena alasan inilah, bagian samudera disana menjadi tidak dapat dilewati dan dijelajahi karena ada tumpukan lumpur yang diakibatkan oleh kehancuran pulau tesebut
Critias dan Timeus mencatat peristiwa tengelamnya Sundaland (Atlantis) terjadi pada sekitar tahun 9.600SM atau 11.600 tahun yang lalu.
Bencana Nuh
Pada sekitar 13.000 tahun yang lalu, berdasarkan temuan geologi, pernah terjadi banjir besar di seluruh permukaan bumi.
Hal ini dikarenakan terjadinya kenaikan permukaan laut, yang menandai berakhirnya zaman es. Laut naik setinggi 500 kaki pada periode 14.000-7.000 tahun yang lalu.
Berdasarkan temuan geologi inilah, Ustadz H.M. Nur Abdurrahman berpendapat bahwa bencana Nuh, terjadi pada sekitar tahun 11.000 SM (sumber : Kapal Nabi Nuh, Misteri Sejarah Peradaban Manusia), dan menjadi sebab tenggelamnya Keping Sunda (Sundaland).
Di dalam Al Qur’an, ada disebut-sebut peristiwa banjir besar yang melanda dunia. Kisah tersebut, erat kaitannya dengan keberadaan Nabi Nuh bersama umatnya.
Kehebatan banjir besar di masa Nabi Nuh, tergambar dengan tingginya permukaan air, hingga mencapai puncak-puncak gunung…
Sebagaimana dikisahkan di dalam QS. Hud (11) ayat 43...
Dia (anaknya) menjawab : ”Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah!” (Nuh) berkata, ”Tidak ada yang melindungi dari siksaaan Allah pada hari ini selain Allah Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka dia (anak itu) termasuk orang yang ditenggelamkan.
Keberadaan Sundaland, yang keberadaannya dibuktikan melalui teori Iwak Belido, masih meninggalkan pertanyaan pada kita, yakni apa penyebab tenggelamnya Keping Sunda itu…
Apakah dikarenakan banjir menurut catatan Plato (9.600SM)?
Ataukah oleh peristiwa bencana Nuh (11.000SM)?
BAB IV
Sundaland (Paparan Sunda) dan Sejarahnya

Istilah Sundaland atau Sunda Shelf yang di dalam bahasa Indonesia disebut dengan Paparan Sunda adalah nama sebuah dataran luas yang dulunya pada masa jaman es terakhir meliputi kawasan yang sekarang disebut sebagai Semenanjung Malaysia, Laut Cina Selatan, Sumatra, Jawa dan Kalimantan beserta selat/laut yang berada di antara pulau-pulau tersebut (Selat Malaka,Karimata,Sunda dan Laut Jawa).

    Lalu siapa yang pertamakali menggunakan istilah itu, Mbah ? Mengapa kok nggak dinamain Javaland atau Swarnadwipaland? Secara kedua istilah itu sudah tertulis di dalam kitab Ramayana karangan Walmiki dari India sekitar tahun 400 SM.

    Wah pertanyaanmu kok dowo koyo sepur ngono sih, Nduk ? Coba ini kamu baca sendiri email jawaban dari Pak Awang H.S. Semoga dapat menambah wawasanmu mengenai Paparan Sunda.

Istilah Sunda sebagai nama tempat, pertama kali disebut oleh ahli ilmu bumi dari Yunani, Ptolemaeus dalam bukunya Geographike Unphegesis (150 M), ia menyebutkan, lempengan daratan dan pegunungan yang membentang dari daratan Asia sampai Pasifik disebut sebagai pegunungan Sunda. Sehingga pulau-pulau besarnya disebut dengan kepualauan Sunda Besar (greater Sunda islands), dan pulau-pulau kecilnya disebut dengan kepulauan Sunda Kecil (lesser Sunda islands).

Dari penelurusan kepustakaan, kata Sunda seperti dikatakan Rouffaer (1905), merupakan pinjaman kata dari kebudayaan Hindu.Tentang arti kata Sunda, beberapa pustaka menyatakan bahwa kata “Sunda” kemungkinan berasal dari kata Sansekerta “sund” atau “suddha” yang artinya terang, bersinar, putih, bersih, suci, murni, tak tercela, air, atau waspada. Beberapa pustaka bahkan menyebutkan dulu ada Gunung Sunda, induk Gunung Tangkubanperahu yang sangat tinggi dan puncaknya bersalju sehingga dari jauh terlihat terang, putih dan bersinar, sehingga disebut Gunung Sunda.

Adalah Earle (1845) yang pertama kali mengenali adanya suatu paparan laut dangkal di Indonesia Barat yang merupakan salah satu dari paparan-paparan terbesar di dunia. Earle (1845) menyebut paparan tersebut Great Asiatic Bank. Di Indonesia Timur di wilayah sebelah utara Australia, Earle (1845) pun mengenali paparan laut dangkal lain yang disebutnya Great Australian Bank.

Kemudian, setelah 75 tahun kemudian, setelah ekspedisi marin Siboga, Molengraaf dan Weber (1919) mendetailkan kedua paparan yang dikenali Earle (1845) tersebut dan masing-masing menyebutnya sebagai Paparan Sunda untuk Great Asiatic Bank dan Paparan Sahul untuk Great Australian Bank.

Molengraaf pun mengajukan argumen bahwa paparan-paparan laut dangkal ini merupakan daratan peneplain yang tenggelam oleh transgresi marin setelah glasiasi Plistosen. Di dasar laut Paparan Sunda bahkan Molengraaf masih bisa mengenali sistem-sistem sungai yang tenggelam yang terdiri atas sungai-sungai di Selat Malaka, sungai-sungai di Laut Cina Selatan (Sungai Sunda Utara) dan sungai-sungai di Laut Jawa (Sungai Sunda Selatan). Maka, sistem sungai-sungai ini yang tenggelam di bawah Paparan Sunda suka disebut sungai-sungai Molengraaf.

Sebagai daratan yang tenggelam, maka Molengraaf pun menyebut kawasan ini sebagai Daratan Sunda atau Sundaland, yang didefinisikannya sebagai wilayah benua yang telah mempertahankan stabilitasnya sejak ujung Pliosen. Wilayah Paparan Sunda dan Daratan Sunda ini terletak di antara Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Malaka.

Mengikuti Molengraaf, van Bemmelen (1949) mendefinisikan Paparan Sunda sebagai laut dangkal, yang kedalaman umumnya kurang daripada 100 meter, meliputi Teluk Thailand, Selat Malaka, bagian baratdaya Laut Cina Selatan, Laut Jawa dan bagian baratdaya Selat Makassar. Dengan luas 1.850.000 km2 (Krummel, 1907), maka Paparan Sunda adalah paparan paling luas dan paling koheren di dunia.

Konsep modern tentang Sundaland mendefinisikannya sebagai sebuah massa daratan (landmass) di Asia Tenggara yang timbul sebagai massa daratan di atas muka laut pada kala Plistosen (Ben-Avraham, 1972; Hutchison, 1989). Hasil penelitian geologi (Nontji, 2002) dapat menunjukkan jejak sejarah paparan ini. Muka laut naik dan turun sesuai dengan periode deglasiasi dan glasiasi. Pada 170.000 tahun lampau, muka laut 200 meter lebih rendah daripada yang sekarang. Itulah saat eksistensi Daratan Sunda. Muka laut seperti sekarang dicapainya pada 1000 tahun lampau.

Konsep modern pun menyatakan bahwa Sundaland bukan satu massa benua yang koheren, tetapi merupakan gabungan (amalgamasi) dari banyak benua-mikro atau terrane yang berasal dari Gondwana pada sebelum Mesozoikum. Benua-benua kecil ini terpisah dari Gondwana, hanyut ke utara, kemudian saling berbenturan satu sama lain dan bergabung membentuk Sunda Land. Pada menjelang akhir Trias dan awal Yura, penggabungan benua-benua kecil ini membentuk Daratan Sunda telah selesai (Metcalfe, 1988; Hutchison, 1989).

Ketika pada Kala Holosen terjadi deglasiasi, saat lapisan-lapisan es mencair,maka tengelamlah Daratan Sunda oleh transgresi marin, dan kini kita mengenalnya sebagai Paparan Sunda, sebuah laut dangkal hasil penenggelaman Daratan Sunda.

Di manakah batas timur Daratan Sunda (Sundaland) ? Barangkali kita harus 
bedakan dulu antara Sundaland sebagai core dan Sundaland sebagai accreted 
crust. Sundaland core adalah inti (benua) Sundaland, sementara accreted crust 
Sundaland adalah crustal mass hasil akresi terhadap Sundaland yang akan 
menambah luas dan jauh batas Sundaland. 
 
Konsep terrane tectonics (antara lain yang dikemukakan oleh Howell et al., 1985 
: Tectonostratigraphic terranes of the Circum-Pacific Region, dalam :  Howell, 
D.G., ed.,Tectonostratigraphic Terranes of the Circum-
Pacific Region, Circum-Pacific Council for Energy and Mineral Resources, 
Houston, p. 3-23.) memandang bahwa yang namanya inti benua pun ternyata disusun 
oleh amalgamasi banyak terrane. Untuk amalgamasi Sundaland, paper pertama 
tentang ini adalah yang ditulis oleh paper terkenal Pulunggono dan Cameron 
(1984 -IPA Proceedings).
 
Akresi kepada suatu core kontinen bisa terjadi melalui dua cara : subduction 
dan collision. Subduction menghasilkan kerak prisma akresi melalui proses 
subduction off-scraping ("penyuguan dalam penunjaman, sebagian massa kerak 
oseanik dikerok-disugu, dicampur dengan massa dari pinggir kontinen, diramu 
dalam sedimentasi dan tektonik imbrikasi jadilah prisma akresi yang bentuknya 
membaji mirip geometri prisma). Collision terjadi ketika satu terrane (dalam 
hal ini mikro-kontinen) beramalgamasi ke kerak kontinen yang lain, menghentikan 
subduksi, mengangkat sebagian kerak oseanik yang terjepit, lepas dari akarnya, 
dan terjepit di antara dua terrane yang beradu melalui proses obduksi.
 
Ada proses lain lagi dalam hubungan ini yang kontra terhadap akresi, yaitu 
dispersi. Kalau akresi menyatukan maka dispersi menceraikan apa yang sudah 
bersatu. Mengapa dispersi mesti terjadi setelah akresi. Sebab, proses akresi 
telah menumbuhkan benua sehingga benua makin luas. Sesuatu yang luas di dalam 
litosfer akan menghalangi sirkulasi mantle plume di astenosfer dan upper 
mantle. Maka upwelling mantle plume akan mendelaminasi (menipiskan - membuka 
"lapisan2" litsfer), lalu setelah mendelaminasinya akan menghanyutkan apa yang 
sudah dipisahkannya melalui continental drifting. Dalam skala global sejarah 
akresi telah membentuk Rodinia atau Pangaea, lalu sejarah dispersi 
menceraikannya menjadi Gondwana dan Laurasia, dll., dll.
 
Bahwa Sundaland punya sejarah akresi dan dispersi, pernah saya publikasikan 
dalam pertemuan gabungan IAGI dan HAGI (Satyana, 2003 : Accretion and 
Dispersion of SE Sundaland : the Growing and Slivering of a Continent). Paper 
ini berargumen bahwa batas timur Sundaland adalah Sulawesi Selatan, detached 
continental platform di Laut Flores yang "melarikan diri" dari sekitar South 
Makassar, dan bagian tengah Teluk Bone. Kelihatannya, batas ini harus kita 
jauhkan lagi sampai Teluk Tomini  dan Sulawesi Tenggara berdasarkan data 
seismik terbaru speculative survey yang diakuisi Migas dan sebuah service 
company dari luar pada tahun 2006-2008 di wilayah Teluk Tomini dan Teluk Bone.
 
Pengetahuan sampai saat ini menyebutkan bahwa Teluk Bone adalah forearc basin 
relative terhadap volcanic arc di Sulawesi Selatan terutama yang berumur Neogen 
(Camba volcanics) yang kelihatannya membentuk arc yang masif di Lengan Sulawesi 
Selatan itu. Dan tentang Teluk Tomini kita tak banyak tahu sebab tak ada data 
seismik di situ sebelum 2006. Namun setelah dilakukan survey seismik dan 
interpretasinya gambaran kedua teluk besar di utara dan selatan Sulawesi ini 
cukup menakjubkan. Secara umum, keduanya menunjukkan basins yang terbentuk 
karena rifting lalu tenggelam. Di Teluk Bone, gambarannya mirip di Selat 
Makassar, dengan semua sekuen sedimen kelihatannya Tersier setebal maksimum 5.5 
seconds. Sementara di Teluk Tomini menceritakan sejarah tektonik dan 
sedimentasi yang luar biasa sebab ditemukan tumpukan sangat tebal sampai 7 
seconds sekuen2 pra-Tersier sd Tersier yang mestinya berhubungan dengan rifting 
tetapi yang sekarang bertumpuk lalu tenggelam.
 
Ciri yang segera nampak dari data seismik kedua teluk ini adalah sekuen2 
tektonostratigrafi yang khas rifting basins, yaitu : pre-rift, syn-rift, 
sagging, dan post-rift. Ciri yang tak biasa ada di rifting basins Indonesia 
Barat tetapi ada di Tomini dan Bone adalah tak hadirnya sekuen syn-inversion 
dan banyaknya sekuen karbonat yang muncul. Dua ciri khas terakhir itu muncul 
karena dua wilayah ini tenggelam paling tidak sejak Neogen akhir. Tetapi 
melihatnya secara umum, kita akan mengingat rifting basins di Indonesia Barat 
di dalam atau sekeliling Sundaland (NSB, CSB, SSB, West & East Natuna, Sunda, 
West Java, East Java, Barito, Makassar Strait, basins2 di Sulawesi Selatan 
onshore). Maka, menjadi pemikiran bahwa wilayah Tomini dan Bone merupakan 
rifted Sunda basins juga -sehingga berimplikasi bahwa tepi timur Sundaland ada 
di Tomini-Bone Bay Line sebelum ia dihentikan oleh para pelarian baru 
Australoid Banggai-Sula dan Buton-Tukang Besi. Tetapi meskipun
 Tomini Bay menunjukkan basins yang mirip rifting basins Sundaland, saya yakin 
sejarah tektoniknya kompleks. Skenario tektonik yang dikemukakan Darius 
Jablonsky (2007 -IPA Proceedings) menarik untuk dilihat lagi.
 
Pemikiran tektonik akan hal ini adalah bahwa terrane kontinen yang 
mengamalgamasi core Sundaland ternyata luas atau lebih dari beberapa 
mikrokontinen yang selama ini kita ketahui (Metcalfe, 1996). Di samping 
Paternoster-Kangean, Mangkalihat, dan Pompangeo (Sulawesi Tengah), mungkin ada 
lagi di bawah Tomini dan di bawah Bone. Yang kemudian setelah beramalgamasi 
pada pra-Tersier mengalami dispersi melalui rifting ke arah timur. Peta 
tectonic region Indonesia yang baru (BPMIGAS-LAPI ITB, 2008) dalam rangkaian 
studi re-mapping basins di Indonesia telah menaruh batas Sundaland di Teluk 
Tomini sampai Teluk Bone.
 
Apa gunanya semua di atas ? Itu akan membangun konsep eksplorasi hidrokarbon di 
Teluk Tomini dan Teluk Bone. Konsep2 eksplorasi terbukti berhasil yang 
dimainkan di cekungan2 rifting di sekeliling dan di dalam Sundaland, bisa 
diaplikasikan di Tomini dan Bone setelah dilakukan beberapa modifikasi.
 
Begitulah, semoga Tomini dan Bone menjadi provinsi migas masa depan Indonesia 
sekaya seperti rifting basins lain di Sundaland (Sumatra, Jawa, Kalimantan, 
laut Jawa, Natuna).

Berbicara tentang sejarah yang berulang tampaknya tidak akan lengkap kalau kita tidak mengenal lebih dalam wilayah di mana kita berada sekarang ini. Wilayah yang sudah menjadi habitat manusia Indonesia selama ribuan tahun ini rasanya menarik untuk dikenal dan dipelajari karena suka atau tidak suka situasi dan kondisi wilayah inilah yang membuat sejarah panjang Nusantara dan Indonesia tercipta. Mengutip istilah Jerman, wilayah inilah yang menjadi “Leben Sraum” atau menjadi tempat tinggal kita selama ini.
Tahukah Anda bahwa Bung Karno pernah menceritakan sebuah negara antah berantah yang ternyata kurang lebih mirip dengan situasi Nusantara ini. Dalam peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW di Istana Merdeka tahun 1964, Bung Karno pernah berpidato seperti ini:
“Kemarin aku baca Ramayana, saudara-saudara, Ramayana. Di dalam kitab Ramayana itu disebut satu negeri, namanya Utara Kuru. Utara Kuru, artinya lor-nya negara Kuru. Kuru artinya Kurawa. Disebutkan dalam kitab itu bahwa di negeri Utara Kuru tidak ada panas yang terlalu, tidak ada dingin yang terlalu, tidak ada manis yang terlalu, nggak ada pahit yang terlalu. Segalanya itu tenang, tenang. Ora ono panas, ora ono adem. Tidak ada gelap, tidak ada terang yang cemerlang. Adem tentrem mbanyu ayu sewindu lawase. Di dalam kitab Ramayana itu sudah dikatakan, hmm negeri yang begini tidak bisa menjadi negeri yang besar. Sebab tidak ada oh up and down, up and down. Perjuangan tidak ada”.
Apakah Indonesia-kah yang dimaksud dengan negeri Utara Kuru itu ?
Untuk menggambarkan Indonesia dengan mudah, Bernard HM Vlekke (dalam bukunya Nusantara: Sejarah Indonesia) menggunakan analogi sebagai berikut. Kepulauan Indonesia, konon wilayah daratnya adalah 2 juta kilometer persegi, hampir 3 kali lebih besar dari wilayah negara bagian Texas di AS. Kalau menghitung luas wilayah total dengan lautnya, dari Sabang sampai Merauke, jarak dari barat ke timur adalah hampir 5.000 km, sama dengan jarak dari San Fransisco di pantai barat AS ke Kepulauan Bermuda. Sementara jarak dari utara ke selatan kurang lebih 2.000 km. Sehingga total wilayah Indonesia kurang lebih adalah 10 juta kilometer persegi atau kira-kira 2,5 juta kilometer persegi lebih luas dibanding wilayah darat AS tanpa Alaska.
Di sebelah barat terdapat pulau besar bernama Sumatera, yang hanya dipisahkan oleh selat sempit (yang di beberapa titik hanya berjarak 30 km) bernama Selat Sunda dengan sebuah pulau besar di wilayah selatan yang bernama Pulau Jawa. Di bagian utara terdapat pulau besar yang bernama Pulau Kalimantan, sementara di sebelah timur terdapat Pulau Papua yang ditakdirkan menjadi pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland di bumi belahan utara. Antara Kalimantan dan Papua terdapat gugusan pulau-pulau yaitu Sulawesi dan Maluku yang ditakdirkan Tuhan menjadi kepulauan rempah-rempah yang kelak sangat mewarnai sejarah modern Indonesia. Di sebelah selatan gugus pulau ini terdapat Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara) yang tersebar bak untaian zamrut antara Jawa dan Australia. Kepulauan Indonesia sekilas seperti jembatan alam yang menghubungkan benua Asia dengan benua Australia.
http://rovicky.wordpress.com/2006/09/14/indonesia-barat-timur-dalam-eksplorasi-migas-dan-mineral/)
Paparan Sunda dan Paparan Sahul (sumber:http://rovicky.wordpress.com/2006/09/14/indonesia-barat-timur-dalam-eksplorasi-migas-dan-mineral/)
Bukalah peta Indonesia. Lihatlah Indonesia bagian barat. Laut yang memisahkan benua Asia, Pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan adalah laut dangkal yang tidak lebih dalam dari 100 meter.Tampaknya Sumatera, Jawa dan Kalimantan dulunya menyatu dengan Benua Asia, karena itulah sekarang kita menamai wilayah ini sebagai Paparan Sunda. Setelah periode Glasial berakhir pada ribuan tahun lalu, beberapa gunung es yang besar mulai meleleh hingga permukaan laut naik mencapai 60 meter sehingga tanah-tanah rendah menjadi terendam air laut dan kemudian membentuk Pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Jan Huygen van Linschoten dalam buku Itinerario juga mengisahkan cerita yang beredar luas di kalangan para penjelajah pada abad ke 16 bahwa Semenanjung Malaya dan Sumatera dulunya membentuk satu benua Asia yang luas.
Sekarang lihatlah peta Indonesia bagian timur. Di sebelah timur terdapat laut Arafura yang dangkal memisahkan Pulau Papua dengan Australia. Kelihatan sekali bahwa dulu Laut Arafura adalah sebuah daratan yang menghubungkan Papua dengan Australia. Kita menamainya sekarang sebagai Paparan Sahul. Karena permukaan laut yang naiklah maka Papua terpisah dengan Australia oleh Laut Arafura.
Sekarang lihatlah peta Indonesia bagian tengah. Terlihat nyata di situ bahwa Paparan Sunda dan Paparan Sahul dipisahkan oleh laut dalam dengan kedalaman lebih dari 3.000 meter sampai 6.000 meter. Dan uniknya di laut dalam inilah muncul Pulau Sulawesi (yang kemudian tampak menyambung dengan Kepulauan Filipina), Pulau-pulau di Nusa Tenggara, Pulau Halmahera dan Kepulauan Maluku. Kentara sekali bahwa gugusan pulau di bagian tengah ini bagaikan pemisah antara Indonesia bagian barat dengan bagian timurnya. Karena itulah kondisi flora dan fauna di pulau-pulau Indonesia bagian barat, bagian tengah dengan pulau-pulau sebelah timur terdapat perbedaan yang cukup nyata. Hal ini kelak diteliti oleh Wallace di abad ke 18.
Hubert Forestier dalam disertasinya mengutip penelitian Gibbons (J.R.H) dan Clunie (F.G.A.U) tentang “Sea level changes and Pacific prehistory” dalam Journal of Pacific History mengungkapkan hal yang sama dengan hal di atas bahkan lebih teliti lagi memperkirakan ada 4 tahapan kepulauan Nusantara mencapai bentuknya seperti sekarang ini. Diperkirakan pada tahap pertama, tepatnya 16.000 - 20.000 tahun yang lalu, beda permukaan Paparan Sunda dan sahul dengan permukaan air laut masih sekitar 130 meter. Kemudian sekitar 14.000 tahun yang lalu permukaan laut naik sekitar 30 meter. Sekitar 10.000 tahun yang lalu, beda permukaan Paparan Sunda dan Sahul dengan permukaan air laut tinggal 50 meter sampai kemudian wilayah Nusantara mencapai bentuknya seperti sekarang sejak 4.000 tahun yang lalu. Karena itulah diperkirakan sejarah modern Nusantara dimulai sejak Kala Holosen yaitu 4.000 - 5.000 tahun yang lalu dimana pulau-pulau terbentuk seperti sekarang ini.
Dalam bukunya yang sama, Bernard HM Vlekke secara menarik juga mengungkapkan bahwa kondisi pegunungan di Indonesia juga sangat menarik. Lihatlah kembali peta Indonesia. Dari Asia pegunungan itu turun ke selatan dalam beberapa barisan yang sejajar. Barisan pertama dari wilayah Semenanjung Indocina membentuk Semenanjung Malaya bagian selatan lalu ke selatan melalui Pulau Bangka dan Belitung (konon kedua pulau ini adalah sisa puncak pegunungan yang tidak terendam laut saat permukaan laut naik) lalu ke Kalimantan.
http://en.wikibooks.org/wiki/The_Geology_of_Indonesia)
Indonesia Ring of Fire (sumber: http://en.wikibooks.org/wiki/The_Geology_of_Indonesia)
Barisan kedua adalah turun dari Myanmar lalu ke bagian utara Semenanjung Malaya lalu membentuk Pegunungan Bukit Barisan di Sumatera kemudian berbelok ke arah timur di mana di titik belok tersebut terdapat Gunung berapi Krakatau. Kemudian barisan ini terus terbentuk di pulau Jawa sampai ke timur mendekati Benua Australia.
Tapi anehnya gugusan gunung berapi dari Asia itu tidak berbelok ke Australia tapi malahan berbelok ke utara melewati Sulawesi dan Halmahera. Uniknya juga, kondisi flora dan fauna di Sulawesi dan Halmahera agak berbeda dibandingkan Asia maupun Australia sebagaimana dilansir oleh Wallacea kelak.
Jadi inilah Leben Sraum Indonesia, wilayah yang akan menjadi habitat manusia Nusantara (kelak Indonesia). Berada di garis khatulistiwa, wilayah ini ditakdirkan mendapatkan curah hujan yang berlimpah terkadang mencapai 400 cm per tahun. Bahkan Bogor pernah berpredikat mengalami badai guntur terbanyak di dunia, yaitu 322 kali setahun (menurut Vlekke).
Tidak ada perbedaan temperatur yang signifikan sepanjang tahun. Tidak ada beda temperatur yang signifikan antara musim hujan dengan musim kemarau. 75 tahun sejak tahun 1866, stasiun meteorologi Jakarta (yang tertua di daerah khatulistiwa) mencatat bahwa temperatur tidak pernah naik di atas 35 derajat Celcius dan tidak pernah lebih rendah dari 18 derajat Celcius. Hanya sekarang data tersebut tentu saja sudah cukup berubah karena pemanasan global temperatur sekarang bisa mencapai 38 derajat Celcius.
Bila urusan temperatur tidak banyak ada perubahan sepanjang tahun, maka penderitaan di daerah ini adalah karena tingkat kelembaban yang sangat tinggi sehingga memaksa manusia Nusantara untuk berkeringat sepanjang hari kecuali kalau sedang musim angin. Ini kelak sangat mempengaruhi penampilan (fashion) dan gaya hidup (life style) manusia Nusantara.
Temperatur yang monoton, curah hujan tinggi, lembab dan kondisi tanah yang subur karena letusan gunung berapi berakibat pada suburnya wilayah ini. Dan inilah kelak yang mengundang hasrat para imigran (baca: nenek moyang kita) datang ke wilayah ini membangun pusat peradaban baru dan kemudian mewarnai sejarah modern Indonesia. Cocok sekali dengan lagu Nusantara karya Koes Plus “Bukan lautan, hanya kolam susu. Air dan tanah itu menghidupimu. Tiada angin tiada topan kau temui. Orang bilang tanah kita tanah surga, bahkan tongkat dan kayu pun akan menjadi tanaman”. Bahkan ada sebuah buku baru yang mengangkat hipotesis bahwa Indonesia-lah yang dikatakan benua Antlantis yang hilang itu. Karena belum membaca buku ini, jadi saya belum bisa berkomentar banyak.
Kembali ke pertanyaan awal sehubungan dengan pidato Bung Karno. Apakah Indonesia adalah negeri Utara Kuru tersebut ? Kalau demikian, apakah Indonesia memang ditakdirkan tidak akan menjadi negara besar karena kondisi alam yang sangat memanjakan tersebut, seperti yang diramalkan oleh kitab Ramayana ? Ataukah kita mampu menjadi negeri besar kalau melakukan perjuangan yang melebihi batas kewajaran, seperti petuah Bung Karno tersebut ? Tampaknya kita perlu merenungkan lebih dalam untuk menjawab pertanyaan nakal ini.
BAB V

KEHIDUPAN AWAL MASYARAKAT DI SUNDALAND

Dengan bantuan ilmu geologi (ilmu yang mempelajari kulit bumi ) perkembangan bumi dari awal terbentuknya sampai dengan sekarang, terbagi menjadi beberapa jaman yaitu :
a. Jaman azoikum (tidak ada kehidupan )
Jaman ini berlangsung sekitar 2500 juta tahun, keadaan bumi masih belum stabil dan masih panas karena sedang dalam proses pembentukan. oleh karena itu pada jaman ini tidak ada tanda-tanda kehidupan.
b. Jaman paleozoikum (kehidupan tertua)
Jaman ini berlangsung sekitar 340 juta tahun, keadaan bumi masih belum stabil dan masih terus berubah. Akan tetapi menjelang akhir dari jaman ini mulai ada tanda-tanda kehidupan yaitu dari hewan bersel satu, hewan kecil yang tidak bertulang belakang, jenis ikan, amphibi, reptil dan beberapa jenis tumbuhan ganggang. Karena itulah maka jaman ini dinamakan pula dengan jaman primer (jaman kehidupan pertama ).
c. Jaman mesozoikum (kehidupan pertengahan )
Jaman ini di perkirakan berlangsung sekitar 140 juta tahun, pada jaman ini kehidupan telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pohon-pohon besar muncul, amphibi mengalami perkembangan, bahkan jenis reptil mencapai bentuk yang sangat besar sekali seperti dinosaurus tyrannosaurus, brontosaurus , atlantosaurus.
Ada pula jenis reptil yang memiliki sayap dan dapat terbang selama berjam-jam , jenis ini dinamakan dengan pterodon. Jaman ini dinamakan jaman sekunder (kehidupan ke-2), ada pula yang menyebut jaman ini dengan istilah jaman reptil, karena jenis hewan di dominasi oleh reptil dengan bentuk yang sangat besar. Pada akhir jaman ini mulai muncul jenis mamalia .
d. Jaman neozoikum (kehidupan muda)
Jaman ini di perkirakan berlangsung sekitar 60 juta tahun , jaman ini terbagi lagi menjadi jaman tersier (kehidupan ke-3) dan quarter (kehidupan ke-4) . pada jaman ini keadaan bumi telah membaik, perubahan cuaca tidak begitu besar dan kehidupan berkembang dengan pesat .
1. Jaman tersier
Pada jaman tersier, reptil raksasa mulai lenyap, mamalia berkembang pesat, mahluk primate sejenis kera mulai ada kemudian muncul jenis orang utan sekitar 10 juta tahun yang lalu muncul jenis hewan primate yang lebih besar dari pada Gorilla sehingga disebut Giganthropus. Hewan ini menyebar dari Afrika ke Asia Selatan, tetapi kemudian punah. Pada masa itu pulau Kalimantan masih bersatu dengan benua Asia, sebagai buktinya jenis babi purba (choeromous) dari jaman ini ditemukan pula di Asia Daratan.
2. Jaman quarter
Berlangsung sekitar 600 ribu tahun, di tandai dengan adanya tanda-tanda kehidupan manusia. Jaman ini terbagi atas jaman diluvium (pleistocen) dan jaman alluvium (holocen).
Jaman Diluvium berlangsung sekitar 600 ribu tahun yang lalu, mulai muncul kehidupan manusia purba. Jaman ini dinamakan pula jaman glacial (jaman es) karena es di kutub utara mencair sehingga menutupi sebagian wilayah Eropa Utara, Asia Utara dan Amerika Utara.
Pada masa ini Sumatera, Jawa, Kalimantan masih menyatu dengan daratan Asia, sedangkan Indonesia timur dengan Australia. Mencairnya es di kutub telah mengakibatkan pulau-pulau di Indonesia di pisahkan oleh lautan baik dengan Asia maupun Australia. Bekas daratan Asia yang sekarang menjadi dasar laut di sebut paparan sunda, sedangkan bekas daratan Australia yang terendam air laut di sebut paparan sahul, kedua paparan tersebut di pisahkan oleh Zone Wallace ( garis wallace).Pada masa ini hewan-hewan yang berbulu tebal seperti mamouth (gajah besar berbulu tebal ) mampu bertahan hidup. Sedangkan yang berbulu tipis migrasi ke wilayah tropis. Perpindahan hewan dari daratan asia ke Indonesia terbagi atas dua jalur. Pertama melalui Malaysia ke Sumatra dan Jawa, kedua melalui Taiwan,  Philipina ke Kalimantan dan Jawa .
Pada jaman ini terjadi pula perpindahan manusia dari daratan Asia ke Indonesia, yaitu Pithecanthropus Erecrus (ditemukan di Trinil) yang sama dengan Sinanthropus Pekinensis. Demikian juga dengan hasil kebudayaan pacitan yang banyak di temukan di Cina,  Malaysia  Birma. Homo Wajakensis yang menjadi nenek moyang bangsa Austroloid ikut pula menyebar dari Asia ke Selatan sampai ke Australia dan menurunkan penduduk asli Australia yaitu bangsa aborigin.
Jaman alluvium, pada masa ini kepulauan Indonesia telah terbentuk dan tidak lagi menyatu dengan Asia maupun Australia.  Jenis manusia pertama yang migrasi dari Asia ke Indonesia sudah  tidak ada dan digantikan oleh jenis manusia cerdas (homo sapiens).
KRONOLOGIS PERKEMBANGAN BIOLOGIS MANUSIA PURBA INDONESIA
Kehidupan manusia pra sejarah dapat di ketahui melalui berbagai fosil. berdasarkan penelitian manusia tersebut telah memiliki kemampuan untuk mengembangkan kehidupan walaupun masih sangat sederhana dan kemampuan berfikir terbatas. Berikut ini beberapa penemuan fosil manusia purba di Indonesia :
A. MEGANTHROPUS PALEO JAVANICUS
Artinya Manusia Jawa Tertua yang Bertubuh Besar, yang hidup di Jawa sekitar 2-1 juta tahun silam. Manusia ini mempunyai ciri biologis berbadan besar, kening menonjol, tulang pipi tebal, rahang besar dan kuat  makanan utamanya adalah tumbuhan dan buah-buahan, hidup dengan cara food gathering (mengumpulkan makanan). Ralph von koenigswald menemukan fosil dari rahang bawah manusia jenis ini di Sangiran (lembah bengawan solo ) pada 1941.
B. PITECHANTHROPUS
Diartikan dengan manusia kera, fosilnya paling banyak di temukan di Indonesia. mereka hidup dengan cara food gathering dan berburu. pitechanthropus terbagi kedalam beberapa jenis yaitu : pitechanthropus mojokertensis robustus, dan erectus.
a. Pitechanthropus mojokertensis fosilnya ditemukan oleh Von Koenigswald pada tahun 1936, dalam bentuk tengkorak anak-anak berusia 5 tahunan  di Mojokerto (lembah bengawan solo ). Hidup sekitar 2,5-2,25 juta tahun lalu. Ciri – ciri biologisnya antara lain : muka menonjol kedepan , kening tebal dan tulang pipi yang kuat
b. Pitechanthropus robustus , fosilnya di temukan oleh wiedenreich dan Koenigswald di Trinil (ngawi jatim) 1939. ciri biologisnya hampir sama dengan Pitechathropus Mojokertensis, bahkan Koenigswald menganggapnya masih dari jenis yang sama .
c. Pitechanthropus erectus (manusia kera berjalan tegak ), fosilnya ditemukan oleh Eugene Dubois di Trinil (ngawi jatim) pada 1890. Mereka hidup sekitar 1 juta sampai 600 ribu tahun yang lalu. Ciri biologisnya bertubuh agak kecil, badan tegap, pengunyah yang kuat, volume otak 900 cc, kemampuan berfikir masih rendah, menurut pendapat Teuku Jacob , manusia ini telah bisa bertutur.
C. HOMO
PETA TEMPAT PENEMUAN MANUSIA JENIS HOMO
1. Sangiran
2. Sambungmacan
3. Sonde
4. Trinil
5. Ngandong
7.
Kedung Brubus
8. Kalibeng
9. Kabuh
10. Pucangan
11.  Mojokerto (Jetis-Perning)

Manusia Jenis Homo yang ditemukan di Indonesia antara lain :
1. Homo Soloensis, fosilnya ditemukan antara 1931 -1934 oleh Von Koenigswald, Ter Haar dan Oppennorth di sepanjang lembah Bengawan Solo. Homo Soloensis diperkirakan hidup antara 900-200 ribu tahun lalu. Ciri biologis diantaranya bentuk tubuh tegak, kening tidak menonjol. menurut Koenigswald, jenis ini lebih tinggi tingkatannya dari pitechanthropus erectus.
2. Homo wajakensis, fosilnya ditemukan oleh Rietschoten dan Dubois antara tahun 1888-1889 di desa Wajak (tulung agung ). Ciri biologisnya : tinggi mencapai 130-210 cm, berat badan sekitar 30 – 150 kg, volume otak sampai dengan 1300cc. Mereka hidup dengan makanan yang telah di masak walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana .

Pembagian Zaman berdasarkan Kajian Geologis

(Geologi : ilmu yang mempelajari tentang komposisi, struktur, dan sejarah bumi)

1. Zaman Arkaekum
- berusia 2.500 juta tahun
- bumi belum stabil dan masih panas
- kulit bumi dalam proses pembentukan
- belum ada tanda-tanda kehidupan

2. Zaman Palaeozoikum / Zaman Primer / Zaman Pertama
- berusia 340 juta tahun
- bumi belum stabil
- sudah ada tanda-tanda kehidupan:
> makhluk bersel satu (mikroorganisme)
> binatang yang tidak bertulang punggung (contoh: trilobita)
> beberapa jenis ikan

> amfibi, reptil

3. Zaman Mesozoikum / Zaman Sekunder / Zaman Kedua
- berusia 140 juta tahun
- kehidupan mengalami perkembangan yang pesat
- muncul binatang besar :
> dinosaurus
   

> burung besar

4. Zaman Neozoikum (Kainozoikum)
- berusia 60 juta tahun
- keadaan bumi semakin baik
- perubahan cuaca tidak begitu besar
- kehidupan berkembang dengan pesat

Zaman neozoikum dibedakan atas dua zaman:

a. Zaman Tertier
- berkurangnya binatang besar
- ada binatang menyusui: kera dan monyet


b. Zaman Quarter
- 600.000 tahun yang lalu
- adanya manusia purba


Zaman quarter terdiri atas dua bagian:
1) Kala Pleistocen / Zaman Dilluvium / Zaman Glasial / Zaman Es
- 600.000 tahun yang lalu
- es Kutub Utara mencair, menutupi sebagian Eropa Utara, Asi Utara, dan Amreika Utara
2) Kala Holocen / Zaman Alluvium
- 20.000 tahun yang lalu
- hidup homo sapiens (manusia seperti sekarang)


Perkembangan zaman-zaman tersebut berhubungan dengan perkembangan kepulauan di Indonesia.
- sebelum zaman es, wilayah Indonesia bagian barat bersatu dengan daratan Asia, wilayah Indonesia bagian timur bersatu dengan daratan Australia
- pada zaman es, wilayah Indonesia dipisahkan oleh lautan dengan Asia ataupun Australia.
Bekas daratan yang menghubungkan Indonesia Barat dan Asia dinamakan Paparan Sunda (Sunda Plat).
Bekasa daratan yang menghubungkan Indonesia Timur dan Australia dinamkan Paparan Sahul (Sahul Plat).
Daerah lautan yang memisahkan kedua paparan tersebut disebut Zona Wallace.


Manusia pertama berada di Indonesia


Oppenheimer mengambil ancang-ancang sejak 20.000 tahun silam. Ketika paparan sunda masih ada, ketika ketinggian laut masih 150 meter dibawah permukaan laut jaman sekarang. Ketika perlahan-lahan suhu bumi memanas, es di kedua kutub bumi mencair dan menyebabkan naiknya permukaan air laut, sehingga timbul banjir besar. Penelitian oseanografi menunjukan bahwa di Bumi ini pernah tiga kali terjadi banjir besar pada 14.000, 11.000, dan 8.000 tahun yang lalu. Banjir yang terakhir adalah peristiwa yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut hingga setinggi 8-11 meter dari tinggi permukaan asalnya. Banjir tersebut mengakibatkan tenggelamnya sebagian besar kawasan Paparan Sunda hingga terpisah-pisah menjadi pulau-pulau yang kini kita kenal sebagai Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Bali.

Oppenheimer mengemukakan bahwa saat itu, kawasan Paparan Sunda telah dihuni oleh manusia dalam jumlah besar. Karena itulah, menurutnya, hampir semua kebudayaan dunia memiliki tradisi yang mengisahkan cerita banjir besar yang menenggelamkan sebuah daratan. Kisah-kisah semacam banjir Nabi Nuh as, olehnya dianggap sebagai salah satu bentuk transfer informasi antar generasi manusia tentang peristiwa mahadahsyat tersebut.

Menurut Oppenheimer, setelah terjadinya banjir besar tersebut, menusia mulai menyebar ke belahan bumi lainnya. Oppenheimer menyatakan bahwa hipotesisnya ini disokong oleh rekonstruksi persebaran linguistik terbaru yang dikemukakan Johanna Nichols. Nichols memang mencoba mendekonstruksi persebaran bahasa Austronesia. Sebelumnya, Robert Blust (linguis) dan Peter Bellwood (arkeolog) menyatakan bahwa persebaran bahasa-bahasa Austronesi a berasal dari daratan Asia ke Formosa (Taiwan) dan Cina Selatan (Yunnan) sebelum sampai ke Filipina, Indonesia, kepulauan Pasifik dan Madagaskar. Nichols menyatakan konstruksi yang terbalik di mana bahasa-bahasa Austronesia menyebar dari Indonesia-Malaysia ke kawasan-kawasan lainnya dan menjadi induk dari bahasa-bahasa dunia lainnya.

Oppenheimer berkeyakinan bahwa penduduk Malaysia, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan dewasa ini adalah keturunan dari para penghuni Paparan Sunda yang tidak hijrah setelah tenggeamnya sebagian kawasan tersebut. Dengan kata lain, ia hendak mengemukakan bahwa persebaran manusia di dunia berasal dari kawasan ini.

Pendapatnya ia perkuat dengan mengemukakan analisa tentang adanya kesamaan benda-benda neolitik di Sumeria dan Asia Tenggara yang diketahui berusia 7.500 tahun. Kemudian ciri fisik pada patung-patung peninggalan zaman Sumeria yang memiliki tipikal wajah lebar (brachycepalis) ala oriental juga memperkuat hipotesis tersebut.

Oppenhimer juga yakin bahwa tokoh dalam kisah Gilgamesh yang dikisahkan sebagai satu-satunya tokoh yang selamat dari banjir besar adalah karakter yang sama dengan Nabi Nuh as dalam kitab Bible dan Qur’an yang tak lain adalah karakter yang berhasil menyelamatkan diri dari banjir besar yang menenggelamkan paparan Sunda. Legenda Babilonia tua mengisahkan pula kedatangan tujuh cendekiawan dari timur yang membawa keterampilan dan pengtahuan baru. Kisah yang sama terdapat pula di dalam India kuno di Hindukush. Varian legenda semacam ini pun ternyata tersebar di kepulauan Nusantara dan Pasifik.

Oppenheimer lebih lanjut mengemukakan bahwa kisah yang serupa dengan kisah penciptaan Adam dan Hawa serta pertikaian Kain dan Abel (Qabil dan Habil) ternyata dapat ditemukan di kawasan Asia Timur dan Kepulauan Pasifik. Misalnya orang Maori di Selandia Baru, menyebut perempuan pertama dengan nama ‘Eeve’. Kemudian di Papua Nugini, kisah yang serupa dengan Kain dan Abel ada dalam wujud Kullabop dan Manip. Tradisi-tradisi di kawasan ini juga mengemukakan bahwa manusia pertama di buat dari tanah lempung yang berwarna merah.

Atas dasar berbagai hipotesis tersebut pula, Oppenheimer meyakini bahwa Taman Eden yang disebut-sebut dalam Bible ada di Paparan Sunda. Berbicara tentang Hipotesis Oppenheimer ini, saya juga jadi teringat salah satu ayat dalam Kitab Genesis yang dengan jelas menyebut bahwa Eden ada di Timur. Mungkinkah Taman Eden memang berlokasi di Indonesia? Dan Manusia Pertama pun ditempatkan Tuhan di Indonesia?

Pra Sejarah

Photo:”Nusantara di Zaman Es akhir pernah menjadi bagian dua daratan besar”
Nusantara pada periode prasejarah mencakup suatu periode yang sangat panjang, kira-kira sejak 1,7 juta tahun yang lalu, berdasarkan temuan-temuan yang ada. Pengetahuan orang terhadap hal ini didukung oleh temuan-temuan fosil hewan dan manusia (hominid), sisa-sisa peralatan dari batu, bagian tubuh hewan, logam (besi dan perunggu), serta gerabah.

Geologi

Wilayah Nusantara merupakan kajian yang menarik dari sisi geologi karena sangat aktif. Di bagian timur hingga selatan kepulauan ini terdapat busur pertemuan dua lempeng benua yang besar: Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia. Di bagian ini, lempeng Eurasia bergerak menuju selatan dan menghunjam ke bawah Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara. Akibat hal ini terbentuk barisan gunung api di sepanjang Pulau Sumatera, Jawa, hingga pulau-pulau Nusa Tenggara. Daerah ini juga rawan gempa bumi sebagai akibatnya.
Di bagian timur terdapat pertemuan dua lempeng benua besar lainnya, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik. Pertemuan ini membentuk barisan gunung api di Kepulauan Maluku bagian utara ke arah bagian utara Pulau Sulawesi menuju Filipina.
Nusantara di Zaman Es akhir pernah menjadi bagian dua daratan besar
Wilayah barat Nusantara moderen muncul kira-kira sekitar kala Pleistosen terhubung dengan Asia Daratan. Sebelumnya diperkirakan sebagian wilayahnya merupakan bagian dari dasar lautan. Daratan ini dinamakan Paparan Sunda (“Sundaland”) oleh kalangan geologi. Batas timur daratan lama ini paralel dengan apa yang sekarang dikenal sebagai Garis Wallace.
Wilayah timur Nusantara, di sisi lain, secara geografis terhubung dengan Benua Australia dan berumur lebih tua sebagai daratan. Daratan ini dikenal sebagai Paparan Sahul dan merupakan bagian dari Lempeng Indo-Australia, yang pada gilirannya adalah bagian dari Benua Gondwana.
Di akhir Zaman Es terakhir (20.000-10.000 tahun yang lalu) suhu rata-rata bumi meningkat dan permukaan laut meningkat pesat. Sebagian besar Paparan Sunda tertutup lautan dan membentuk rangkaian perairan Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Selat Karimata, dan Laut Jawa. Pada periode inilah terbentuk Semenanjung Malaya, Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, dan pulau-pulau di sekitarnya. Di timur, Pulau Irian dan Kepulauan Aru terpisah dari daratan utama Benua Australia. Kenaikan muka laut ini memaksa masyarakat penghuni wilayah ini saling terpisah dan mendorong terbentuknya masyarakat penghuni Nusantara moderen.

Tumbuhan, hewan dan hominid

Sejarah geologi Nusantara mempengaruhi flora dan fauna, termasuk makhluk mirip manusia yang pernah menghuni wilayah ini. Sebagian daratan Nusantara dulu merupakan dasar laut, seperti wilayah pantai selatan Jawa dan Nusa Tenggara. Aneka fosil hewan laut ditemukan di wilayah ini. Daerah ini dikenal sebagai daerah karst yang terbentuk dari endapan kapur terumbu karang purba.
Endapan batu bara di wilayah Sumatera dan Kalimantan memberi indikasi pernah adanya hutan dari masa Paleozoikum.
Laut dangkal di antara Sumatera, Jawa (termasuk Bali), dan Kalimantan, serta Laut Arafura dan Selat Torres adalah perairan muda yang baru mulai terbentuk kala berakhirnya Zaman Es terakhir (hingga 10.000 tahun sebelum era moderen). Inilah yang menyebabkan mengapa ada banyak kemiripan jenis tumbuhan dan hewan di antara ketiga pulau besar tersebut.
Flora dan fauna di ketiga pulau tersebut memiliki kesamaan dengan daratan Asia (Indocina, Semenanjung Malaya, dan Filipina). Harimau, gajah, tapir, kerbau, babi, badak, dan berbagai unggas yang hidup di Asia daratan banyak yang memiliki kerabat di ketiga pulau ini.
Makhluk mirip manusia (hominin) yang menghuni Nusantara yang diketahui adalah manusia Jawa. Fosil dari satu bagian tengkorak Pithecanthropus erectus ditemukan pada tahun 1891 oleh Eugene Dubois di Trinil, Kabupaten Ngawi. Sejak 1934, G.H.R. von Koenigswald beserta timnya menemukan serangkaian fosil hominin di lembah sepanjang Bengawan Solo, yaitu di Sangiran dan Ngandong serta di tepi Sungai Brantas di dekat Mojokerto. Para ahli paleontologi sekarang kebanyakan berpendapat bahwa semua fosil temuan dari Jawa adalah Homo erectus dan merupakan bentuk yang primitif. Semula diduga berumur 1.000.000 sampai 500.000 tahun (pengukuran karbon tidak memungkinkan), kini berdasarkan pengukuran radiometri terhadap mineral vulkanik pada lapisan penemuan diduga usianya lebih tua, yaitu 1,7-1,5 juta tahun.[1][2]
Homo sapiens moderen pertama masuk ke Nusantara diduga sekitar 100.000 tahun lalu, melalui India dan Indocina. Fosil Homo sapiens pertama di Jawa ditemukan oleh van Rietschoten (1889), anggota tim Dubois, di Wajak, dekat Campurdarat, Tulungagung, di tepian Sungai Brantas.[3] Ia ditemukan bersamaan dengan tulang tapir, hewan yang pada masa kini tidak hidup di Jawa. Fosil Wajak dianggap bersamaan ras dengan fosil Gua Niah di Sarawak dan Gua Tabon di Pulau Palawan. Fosil Niah diperkirakan berusia 40.000-25.000 tahun (periode Pleistosen) dan menunjukkan ciri-ciri ras Australomelanesoid.[4] Mereka adalah pendukung budaya kapak perimbas (chopper) dan termasuk dalam kultur paleolitikum (Zaman Batu Tua).
Pengumuman pada tahun 2003 tentang penemuan Homo floresiensis yang dianggap sebagai spesies Homo primitif oleh para penemunya memantik perdebatan baru mengenai kemungkinan adanya spesies mirip manusia yang hidup dalam periode yang bersamaan dengan H. sapiens, karena hanya berusia 20.000-10.000 tahun sejak era moderen dan tidak terfosilisasi. Hal ini bertentangan dengan anggapan sebelumnya yang menyatakan bahwa hanya H. sapiens yang bertahan di Nusantara pada masa itu. Perdebatan ini belum tuntas, karena penentangnya menganggap H. floresiensis adalah H. sapiens yang menderita penyakit sehingga berukuran katai.

Migrasi manusia

Bukti-bukti Homo sapiens pertama diketahui dari tengkorak dan sisa-sisa tulang hominin di Wajak, Gua Niah (Serawak), serta temuan-temuan baru di Pegunungan Sewu sejak awal paruh kedua abad ke-20 hingga sekarang, membentang dari Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, hingga kawasan Teluk Pacitan, Kabupaten Pacitan. Temuan di Wajak, yang pertama kali ditemukan sulit ditentukan penanggalannya, namun fosil di Gua Niah menunjukkan usia sekitar 40.000 tahun yang lalu. Usia fosil utuh di Gua Braholo (Gunungkidul, ditemukan tahun 2002) dan Song (Gua) Keplek dan Terus (Pacitan) berusia lebih muda (sekitar 10.000 tahun sebelum era moderen atau tahun 0 Masehi). Pendugaan ini berasal dari bentuk perkakas yang ditemukan menyertainya.
Walaupun berasal dari masa budaya yang berbeda, fosil-fosil itu menunjukkan ciri-ciri Austromelanesoid, suatu subras dari ras Negroid yang sekarang dikenal sebagai penduduk asli Pulau Papua, Melanesia, dan Benua Australia. Teori mengenai asal-usul ras ini pertama kali dideskripsikan oleh Fritz dan Paul Sarasin, dua sarjana bersaudara (sepupu satu sama lain) asal Swiss di akhir abad ke-19. Dalam kajiannya, mereka melihat kesamaan ciri antara orang Vedda yang menghuni Sri Lanka dengan beberapa penduduk asli berciri sama di Asia Tenggara kepulauan dan Australia.

Peninggalan masa prasejarah

Peninggalan masa prasejarah Nusantara diketahui dari berbagai temuan-temuan coretan/lukisan di dinding gua atau ceruk di tebing-tebing serta dari penggalian-penggalian pada situs-situs purbakala.
Beberapa lokasi penemuan sisa-sisa prasejarah Nusantara:
Kerajaan Pertama Indonesia, Ada di Sunda?
Salah satu peninggalan Salakanagara tempat kediamannya Raja
Salah satu peninggalan Salakanagara tempat kediamannya Raja
“Eh tau gak kerajaan pertama itu ada di Sunda, bukan di kutai!” ujar seorang teman yang tertarik dengan masalah kesundaan.
“Wah yang bener? Tanya saya heran.
“ya memang bener, menurut data yang saya temukan kerajaan pertama itu bukan kutai, tapi Salakanagara yang berposisi di daerah Jawa Barat, kini masuk banten, tepatnya di daerah Pandeglang,”jawab sang teman.
Karena penasaran, saya pun searching di mang google dan saya temukan bahwa ada kerajaan kecil yang bernama Salakanagara. Kerajaan salakanagara awalnya adalah sebuah pemukiman penduduk, namun karena kedatangan manusia import dari India yang berasal dari sebuah kerajaan dan menikah dengan penduduk setempat lalu ia mendirikan kerajaan. Mmanusia India tersebut adalah keturunan kerajaan yang terusir. Berdirilah kerajaan Salakanagara pada tahun 150-an Masehi. Di daerah ini ditemukan peninggalah sejarah berupa menhir dan dolmen. Barang-barang yang terbuat dari batu, ciri khas peninggalan purba.
Bukan hanya di Google, namun juga saya temukan dalam sejarah Jawa Barat yang menyebutkan bahwa di daerah Sunda terdapat kerajaan munggaran yaitu Kerajaan Salakanagara. Hal ini diungkapkan dalam bukunya Wangsakerta Nenek Moyangnya Sunan Gunung Djati dari Cirebon. Ia menulis sejarah nusantara yang salah satu isinya adalah tentang awal mula keberadaan Sunda.
Selama ini kita dijejali informasi yang barangkali kurang tepat ketika jamannya SD dulu. Kita mengetahui bahwa kerajaan pertama adalah Kutai dan kemudian kerajaan kedua berada di Sunda yaitu kerajaan Tarumanagara yang lahir kira-kira tahun 400-an Masehi. Sebagian orang masih percaya bahwa kerajaan pertama tersebut adalah Kutai. Ini bukan masalah pembelaan namun masalah kebenaran sejarah yang seringkali dipelintir oleh penguasa.
Begitupun bertahun-tahun lamanya kita tahu bahwa huruf sunda asli tersebut adalah huruf Hanacaraka, namun belakangan ternyata bernama Kaganga. Semua huruf kuno di Nusantara hampir memiliki corak yang sama seperti huruf Kaganga.
Kerajaan pertama ada di Sunda sangat Rasional. Hal ini berpijak bahwa sesungguhnya seluruh kepulauan Nusantara pada awalnya bernama paparan Sunda, ada Sunda besar yang terdiri dari Sumatera, Jawa, Kalimantan yang awalnya tersatukan oleh daratan dan ada Sunda kecil yang terdiri dari Bali, Sumbawa dan sekitarnya. Namun karena Gempa besar yang kemudian mencairkan es di kutub, akhirnya laut menjadi pasang sehingga permukaan air laut menjadi naik. Maka terpisahkanlah dataran tersebut menjadi pulau-pulau besar. Oleh karena itu mengapa selat Sunda sangat pendek atau kenapa Madura sangat dekat dengan pulau jawa karena pada awalnya mereka satu daratan. Hal ini diceritakan secara mendalam dalam bukunya Prof. Santos ‘Atlantis, the loss of continental’. Bahkan di laut jawa sendiri, karena dahulunya pernah ada sungai yang sangat panjang, ada sungai di bawah laut yang menunjukan adanya kehidupan pada masa purba.
Walaupun para sejarawah ada yang kontra karena tidak ada peninggalan sejarah dari kerajaan tersebut dan buku wangsakerta dianggap terlalu modern, tentu saja barangkali saat itu belum menghasilkan peninggalan yang sangat berarti untuk ukuran masa sekarang apalagi diukur dengan aturan masa kini untuk syarat-syarat kerajaan.
Tidak hanya kerajaan, namun juga Candi tertua terdapat di daerah Jawa Barat, yaitu Candi Arwah yang terdapat di Batu Jaya Rengasdengklok Karawang. Dalam lingkungan candi tidak hanya terdapat tempat ibadah saja, namun juga pusat peradaban separti halnya jaman sekarang. Di lingkungan candi ditemukan berbagai artefak peninggalan sejarah, seperti piring-piring dan pernak-pernik rumah lainnya.
Sekali lagi, jika ini benar, ini bukanlah pembelaan karena saya notabene orang Sunda, namun pengungkapan kebenaran dari kebohongan-kebohongan sejarawah pengusa terdahulu yang telah menyesatkan manusia Indonesia. Dengan sejarah manusia mengetahui jati diri dan identitasnya. Masyarakat harus tahu sejarah bangsanya sendiri sebagaimana kita tahu bagaimana perjuangan merebut kemerdekaan ini sehingga kita dapat menghargai bangsa Indonesia tercinta ini.

Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara

Eden In The East ( SURGA DI TIMUR) Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara
Oleh: Stephen Oppenheimer
DM(Oxon), FRCP (UK), DTM&H (Liverpool)
School of Anthropology, Oxford University
Pengantar
Hipotesa  kunci dari edisi pertama buku Eden in The East dapat diringkaskan ke dalam beberapa tema terkait yang tidak terlalu berbeda dengan klaim yang dibuat di sampul belakang buku edisi bahasa Inggris dari Eden in The East oleh penerbit asal saya. Mereka telah secara luas didukung oleh penelitian kami  berikut ini dan dari yang lainnya, sehingga  membuat penerjemahan ini bersifat nubuwah (prophetic). Ada beberapa tema terkait:
1). Tiga kenaikan permukaan laut secara cepat, atau banjir-banjir, yang terjadi antara 14.500 sampai 7.200 tahun yang lalu yang menenggelamkan sebagian besar Sundaland, namun mendorong perjalanan laut dan penyebaran orang-orang Sundaland: Tema pertama dan mungkin merupakan isu yang paling controversial di dalam Eden in The East adalah analisis saya terhadap akibat dari tiga peningkatan permukaan laut yang cepat, atau banjir antara 14.000 sampai 7.200 tahun yang lalu di lempengan paparan benua Sunda dan penduduk pendahulu di Sundaland.  Agak sedikit sulit untuk melihat mengapa ada beberapa penentangan terhadap konsep ini, yang sebenarnya sudah diterima oleh para ahli geologi dan para sarjana lainnya sejak lama, kecuali sekedar sebagai taktik berbeda oleh para pendukung pandangan teori “Out of Taiwan” (Keluar dari Taiwan)”.
Bahwa Paparan Sunda mewakili sebuah benua besar yang tenggelam dan telah sempurna mengering pada 15.000 tahun yang lalu, adalah merupakan fakta yang sangat dikenal baik, sebagai sebuah fakta yang jelas, yang diikuti oleh 3 banjir besar (dalam 3 periode yang cepat). Sejumlah makalah ilmuwan membuktikan hal ini sebagimana dikutip dalam buku Eden in the East. Bahkan fakta bahwa banjir yang ketiga tersebut sebenarnya adalah 2 banjir ( sehingga menjadi total 4 banjir), yang terpisah selama 1.000 tahun dan sebuah kejatuhan moderat dari permukaan laut, yang telah diantisipasi di dalam Eden in The East (Gambar 3-7).  Poin akhir dari naik-turunnya telah ditunjukkan secara jelas oleh Prof Michael Bird dan kawan-kawannya tahun ini.
Kami sekarang punya 6 terbitan, dan akan lebih bertambah lagi, yang menunjukkan bahwa episode pembanjiran Sundaland adalah sinkron dengan peristiwa penyebaran genetik dari Sundaland terdahulu, yang mendukung pandangan asli saya bahwa kenaikan permukaan laut menyebabkan kehidupan di Sundaland menyebar melalui laut di dalam Indonesia dan ke Samudra Pasifik dan Samudra India dan bahkan ke mana pun  ke Eurasia pada jumlah yang lebih rendah.
2) Sembilan puluh persen (90%) para leluhur dari penduduk Sundaland saat ini telah tiba di sini lebih dari 5.000 tahun yang lalu, kebanyakan lebih dari 50.000 tahun yang lalu: Makalah saya telah mengkonfirmasi garis-garis penanggalan gen, baik di Indonesia maupun Polynesia yaitu pada 5000 tahun yang lalu, beberapa di antaranya sebelum Zaman Es, berarti bahwa ada keberlanjutan genetick yang substansial di Indonesia selama ribuan tahun. Derajat keberlanjutan genetik itu membantah pandangan ortodoks bahwa para petani padi Taiwan berbahasa Austronesia secara essensial menggantikan penduduk terdahulu dari Paparan Sunda 3.500 tahun yang lalu.
Isu kunci dalam setiap rekonstruksi prasejarah adalah mengenai suatu metode yang valid. Dalam kasus hipotesis Sundaland, penanggalan genetik adalah pusat dari rute argumentasi ini, penanggalan dan sumber dari migrasi. Kami telah mengalamatkan ‘problem’ ini dengan mengumpulkan data lebih banyak dan dengan menyempurkan sebaran genome yang lengkap pada sejumlah pertauan di Asia dan Pasifik, dan mengkalibrasi kembali keseluruhan pohon induk, akhirnya mempublikasikan suatu benchmark kalibrasi ulang bagi seluruh populasi dunia.
3) Para penduduk Sundaland telah memulai perubahan budaya mereka dari para “pemburu dan pengumpul makanan” menjadi para penanam tumbuhan, pertanian, nelayan ikan dan perdagangan berbasis kelautan dengan baik sejak 5.000 tahun yang lalu. Mereka tidak mempelajari hal ini dari orang-orang Taiwan 3.500 tahun yang lalu, Mungkin ini juga cara yang sama dalam beberapa kasus: Bukti-bukti paralel  mengenai kekunoan dan kecanggihan orang-orang Sundaland telah datang dari para arkeolog yang menunjukkan bahwa ketimbang mempelajari keahlian Neolitik mereka dan menerima hewan-hewan yang sudah dijinakkan serta tanaman pertanian dari Taiwan 3.500 tahun yang lalu, mereka telah mempunyai keahlian era Neolitik mereka sendiri yang asli, dan penjinakan hewan-hewan ternak mereka serta pertanian aslimereka sendiri sejak lebih dari 10.000 tahun yang lalu. Para penjinak ini adalah leluhur yang sebenarnya dari mereka yang dibawa keluar ke samudra Pasifik oleh orang-orang Polynesia. Terlebih lagi teknologi pelayaran terkuno adalah asli berasal dari Sundaland dan Barat Daya Pasifik, bukan Taiwan. Peristilahan dalam Bahasa Austronessia untuk teknologi pelayaran pertama kali muncul di Asia Tenggara, bukan Taiwan.
4) Orang Polynesia berasal dari Sundaland: pandangan ini, yang sekarang begitu terkenal, adalah sentral dari buku dan memteorikan bahwa hampir semua leluhur orang Polynesia yang muncul secara sempurna di Melanesia dan utamanya kepulauan Asia Tenggara (Sebelumnya, benua besar itu dikenal dengan nama Sundaland) lebih dari 5.000 tahun yang lalu, ketimbang menjadi keturunan dari satu kelompok petani padi, yang disangka menyebar keluar dari Taiwan untuk menempati Sundaland dan Pasifik 3.500 tahun yang lalu. Pandangan terakhir itu adalah pandangan ortodoks.
Makalah baru saya  dalam tema ini, dapat dikelompokan ke dalam beberapa baris dari bukti-bukti-bukti baru yang yang saling terkait, yang secara bersama-sama menunjukkan bahwa kebanyakan gene lines yang diketemukan di Polynesia adalah diturunkan dari paparan Sunda lebih dari 5.000 tahun yang lalu.
5) Gema kebudayaan kuno menyebar dari Sundaland: Lebih dari setengah Eden in The East terkait dengan bukti dari perbandingan milotologi, yang disebut diaspora, walaupun sejumlah efek efek numeric antarbenua tentang Daratan Utama Eropa-Asia (Eurasia), Benua Amerika dan Afrika adalah kecil, mempunyai efek besar dalam arti transfer budaya dari legenda asli dan mitos-mitos banjir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar